TIKTAK.ID – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (9/3/21) mengatakan, hampir satu dari tiga wanita di seluruh dunia menjadi sasaran kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Perilaku kriminal ini semakin meluas selama masa pandemi.
Laporan baru menunjukkan bahwa, meskipun jumlah wanita yang menjadi korban kekerasan sebagian besar tetap tidak berubah sejak studi WHO global terakhir pada 2013, kekerasan ini dimulai pada usia muda.
Sekitar 31% wanita berusia 15-49 tahun, atau hingga 852 juta wanita, pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, kata WHO dalam apa yang disebut sebagai studi terbesar yang pernah ada, yang mencakup data dan survei nasional dari 2000-2018.
“Angka-angka ini sangat mengejutkan dan benar-benar merupakan semacam seruan bagi Pemerintah untuk melakukan lebih banyak lagi langkah untuk mencegah kekerasan ini,” kata penulis laporan Claudia Garcia-Moreno.
Badan PBB tersebut mendesak Pemerintah untuk mencegah kekerasan, meningkatkan layanan bagi para korban dan mengatasi ketidaksetaraan ekonomi yang sering kali membuat perempuan dan anak perempuan terjebak dalam hubungan yang berujung pada pelecehan terhadap mereka.
Sementara anak laki-laki harus dididik di sekolah tentang perlunya saling menghormati dalam hubungan dan persetujuan bersama untuk melakukan hubungan seks, ujar pejabat WHO.
“Kekerasan terhadap wanita mewabah di setiap negara dan menjadi budaya, menyebabkan kerugian bagi jutaan wanita dan keluarga mereka, dan telah diperburuk oleh pandemi Covid-19,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Seorang suami atau pasangan intim adalah pelaku yang paling umum dan jumlah korban yang tidak proporsional berada di negara-negara termiskin, benua Afrika, Amerika, dan Asia Tenggara menjadi yang tertinggi dengan 35 persen dan 33 persen. Namun, angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi, karena kurangnya pelaporan tentang pelecehan seksual, dan kejahatan yang sangat distigmatisasi.
Di beberapa wilayah, lebih dari setengah wanita menghadapi kekerasan di beberapa titik, katanya kepada Reuters, mengutip Oseania, sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan.
Data WHO mencatat, negara-negara dengan prevalensi tertinggi antara lain termasuk Kiribati, Fiji, Papua Nugini, Bangladesh, Republik Demokratik Kongo, dan Afghanistan.
Sementara negeri dengan prosentase terendah, ada di Eropa, hingga 23 persen.