
TIKTAK.ID – Munculnya kasus spyware Pegasus, mewajibkan setiap negara yang hendak mengimpor produk teknologi dari luar negeri harus mengecek secara keseluruhan barang tersebut untuk menghindari implan mata-mata di perangkat lunak atau kerasnya, kata mantan Direktur Teknis dan whistleblower Badan Keamanan Nasional AS (NSA) William Binney, seperti yang dilansir Sputniknews, Kamis (22/7/21).
Spyware Pegasus, yang dikembangkan oleh NSO Group di Israel, digunakan untuk meretas sekitar 50.000 smartphone aktivis hak asasi manusia, pengacara, jurnalis, dan eksekutif bisnis di seluruh dunia, ungkap konsorsium jurnalis-LSM pekan lalu. Di antara mereka yang menjadi sasaran adalah pejabat tingkat tinggi dari Pakistan, Prancis, Irak, Mesir, dan Dewan Eropa.
“Praktik standar bagi Pemerintah adalah untuk membuat perusahaan mendistribusikan implan mereka untuk memata-matai orang-orang penting di seluruh dunia,” kata Binney ketika ditanya tentang skandal spyware Pegasus. “Jika Anda mendapatkan [atau] membeli produk komunikasi apa pun dari perusahaan di negara asing, Anda harus memindai implan -baik perangkat keras maupun perangkat lunak- sebelum digunakan. Jika tidak, Anda tidak akan aman.”
Binney mengatakan pengawasan seperti itu sudah tersebar luas dan bahkan praktik rutin oleh Dinas Intelijen dan Keamanan Pemerintah di seluruh dunia.
Pengetahuan bersama oleh Pemerintah dan layanan keamanan tentang metode yang telah mereka gunakan ini dapat dijelaskan seperti ketika Pemerintah AS berturut-turut enggan terhadap pembelian global produk 5G yang dibuat oleh Huawei secara global, kata Binney.
“Inilah mengapa keributan besar tentang peralatan 5G [yang] dibuat di China -ditakutkan adanya pemasangan sistem mata-mata mereka,” katanya.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron telah mengganti ponsel dan kartu SIM-nya setelah ada laporan bahwa ia menjadi sasaran spyware Pegasus buatan Israel itu, stasiun radio France Info melaporkan pada Kamis (21/7/21). Sebelumnya pada hari itu, Macron juga mengadakan pertemuan keamanan siber darurat untuk mempertimbangkan kemungkinan tindakan yang akan diambil.
Selain Macron, yang merupakan satu dari sejumlah Kepala Negara yang menjadi target perangkat lunak Pegasus, The Washington Post pada Rabu (21/7/21) juga menyebut Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, masuk dalam daftar 14 pempimpin asing yang menjadi target perangkat mata-mata itu.