TIKTAK.ID – Rokok elektrik atau vape tak cukup aman bagi perokok pasif karena berdampak buruk untuk kesehatan. Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. Dimas Dwi Saputro, Sp.A menjelaskan bahwa semua zat berbahaya yang terkandung dalam rokok konvensional juga terdapat pada rokok elektrik.
Salah satu perbedaan rokok elektrik dan konvensional yakni rokok elektrik menghasilkan aerosol, yang dihasilkan dari memanaskan cairan. Aerosol rokok elektrik memiliki kandungan zat berbahaya, termasuk nikotin, logam berat (seperti timbal), senyawa organik, dan zat-zat penyebab kanker (bersifat karsinogenik).
Dr. Dimas menyebut kandungan itu tak hanya berbahaya pada pengguna aktif, namun juga pada perokok pasif atau secondhand smoke.
“Dulu pernah dikatakan kalau secondhand smoke tidak terkena efek sampingnya. Akan tetapi ini ada buktinya (itu salah),” ujar Dr. Dimas ketika berbicara di forum Dampak Merokok Pasif pada Kesehatan Anak, pada Sabtu (27/5/23), seperti dilansir Kompas.com.
Menurut penelitian Southern California Children Health Study pada 2.097 anak usia 17 tahun yang diikuti selama 2014 hingga 2019, ditemukan efek samping paparan rokok elektrik atau vaping pada perokok pasif. Pada 2022, anak-anak yang diteliti selama kurang lebih 5 tahun itu mengalami sejumlah masalah kesehatan akibat paparan rokok elektrik.
“Pada 2022, sebanyak 2.097 anak-anak usia 17 tahun yang diikuti dari 2014 hingga 2019 diperiksa, ternyata kejadian mengi meningkat sekitar 15 persen,” jelas Dr. Dimas.
Paparan vape secondhand nicotine juga dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala bronkitis dan sesak napas di kalangan orang dewasa muda.
“Orang yang terkena paparan vape secondhand nicotine diasosiasikan 1,4 kali lebih mungkin mengalami gejala bronkitis dan 1,5 kali lebih mungkin mengalami sesak napas,” tutur Dr. Dimas.
Dr. Dimas menilai tren vaping dan efek sampingnya pada pengguna dan perokok pasif, tidak baik bagi proyeksi masa depan negara Indonesia. Dia memaparkan bahwa pada 2045 Indonesia diproyeksikan bakal mengalami masa keemasan karena memperoleh bonus demografi dengan usia produktif (16-64 tahun) mencapai 70 persen dari total penduduk.
Ketika itu, pendapatan per kapita di Indonesia dapat mencapai 47.000 USD. Indonesia pun nantinya bisa menjadi salah satu dari 7 kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
“Tapi jika saat ini anak-anak remajanya sakit-sakitan akibat terkena paparan asap rokok elektrik, maka apa yang akan terjadi kemudian hari? Apa kita mampu menjadi bangsa yang maju menikmati masa emas?” tegas Dr. Dimas.