TIKTAK.ID – Belakangan viral di media sosial komunitas bahasa bernama Jawa Sastra mengadakan Sayembara Misuh Internasional 2020. Menanggapi hal itu, dosen Fakultas Psikologi UGM, Prof Koentjoro mengatakan misuh merupakan media mengeluarkan uneg-uneg. Menurutnya, misuh bukanlah budaya Jawa.
“Itu (misuh) bagian dari katarsis, yakni mengeluarkan uneg-uneg yang ada di dalam diri kita,” ujar Koentjoro, seperti dilansir detikcom, Jumat (10/7/20).
Koentjoro pun menyebut sayembara itu bisa untuk media katarsis daripada sekadar ajang misuh, mengingat misuh atau mengumpat sendiri adalah hal yang bertentangan dengan norma.
“Misuh itu kan sebenarnya sesuatu yang tidak disukai dan bertentangan dengan norma. Makanya sekarang apa masyarakat kita sudah keluar dari aturan kebajikan?” ucap Koentjoro.
“Jadi kalau itu hanya sekadar lomba, lantas untuk apa? Tapi kalau bentuk katarsis, masih okelah,” imbuhnya.
Koentjoro menilai, saat ini tradisi umpatan sudah bergeser. Ia menyatakan hal yang sebelumnya tabu, saat ini menjadi hal yang familiar di masyarakat. Meski begitu, ia menegaskan familiarnya hal tersebut membuat umpatan bukan lagi manjadi sebuah katarsis.
“Misuh ini juga menurut tradisi itu bergeser. Dari yang dulunya tabu, lama-lama bisa diterima, misalnya ‘jancok’. ‘Jancok’ itu bagi orang zaman dulu udah misuh, tapi sekarang untuk orang Surabaya malah sudah jadi panggilan, ‘cok’, terus seperti gentho, ‘piye kabare tho?’ gitu,” terang Koentjoro.
Kemudian menyoal misuh sebagai identitas budaya Jawa, Koentjoro mengaku tidak begitu setuju dengan hal itu. Sebab, kata Koentjoro, orang Jawa sejatinya dicegah untuk misuh atau mengumpat. Ia menyebut misuh akan menunjukkan kelas sosial seseorang.
“Orang Jawa itu kalau misuh, itu misuh dalam bahasa halus (krama inggil) dan dalam Jawa dicegah untuk misuh, karena luhuring budi bukan dari misuhnya. Tapi luhuring budi itu gumantung seko lathi atau mulut,” jelasnya.
Koentjoro mengungkapkan, ketika seseorang mengumpat, maka akan menunjukkan kelas sosialnya.
“Ketika orang mengumpat, kelas sosialnya ketahuan. Jadi siapa yang ngumpat itu orang Jawa bisa tahu dia dari kelas sosial mana,” katanya.