TIKTAK.ID – Twitter menutup lebih dari 70.000 akun sejak Jumat lalu, terutama akun yang membagikan konten QAnon setelah terjadinya kekerasan pekan lalu di Washington saat pendukung Presiden Donald Trump menyerbu gedung Capitol AS.
QAnon merupakan teori konspirasi yang dibuat oleh kelompok sayap kanan jauh. Pendukung QAnon telah menciptakan teori konspirasi tanpa dasar di media sosial bahwa Trump diam-diam memerangi komplotan rahasia pemangsa seks anak atau pedofil, di antaranya adalah tokoh-tokoh Demokrat terkemuka, tokoh-tokoh di Hollywood, dan sekutu di “negara bagian”, tulis Aljazeera, Selasa (12/1/21).
“Mengingat peristiwa kekerasan di Washington DC, dan peningkatan risiko bahaya, kami mulai secara permanen menutup ribuan akun yang terutama didedikasikan untuk berbagi konten QAnon pada Jumat sore”, tulis Twitter dalam sebuah blog pada Senin malam.
“Akun ini terlibat dalam berbagi konten berbahaya yang tidak terkait QA dalam skala besar dan terutama didedikasikan untuk penyebaran teori konspirasi di seluruh layanan.”
Twitter mengatakan pada hari Jumat akan menutup akun secara permanen jika mendukung konten QAnon, melarang menyebarnya teori konspirasi dari kelompok sayap kanan.
Penyerbuan gedung Capitol minggu lalu oleh pendukung Trump dilakukan untuk menunda sertifikasi kemenangan Biden pada pemiliihan 3 November lalu.
Anggota parlemen terpaksa mengungsi, karena gedung itu dikuasai oleh pendukung Trump yang membuat pasukan keamanan kewalahan.
Lima orang tewas dalam kekerasan itu termasuk seorang petugas Kepolisian Capitol yang dipukuli saat dia mencoba menghalau kerumunan.
Pada hari Senin kemarin, pendukung Trump berencana menggelar demonstrasi di luar markas besar Twitter San Francisco karena platform media sosial itu telah menutup akun Donald Trump, namun rencana itu gagal, karena yang datang hanya segelintir pendukung Presiden AS yang kalah tersebut.
Pesan yang diposting akhir pekan ini di forum sayap kanan populer TheDonald.win, meminta para aktivis pro-Trump untuk berkumpul di luar kantor raksasa teknologi itu, yang sebagian besar kosong karena staf mereka bekerja dari rumah akibat pandemi.
Seorang pengguna bahkan mendesak peserta untuk membawa zip-tie ke “mereka yang melakukan kekerasan”, lapor San Francisco Chronicle.
Polisi mengerahkan puluhan petugas dan membangun penghalang keamanan, tetapi hanya beberapa pengunjuk rasa dan kontra-pengunjuk rasa yang datang.
“Saya tidak suka disensor. Dan saya merasa suara-suara konservatif sedang disensor,” kata seorang pengunjuk rasa kepada stasiun televisi lokal Fox KTVU.
Kenneth Lundgreen, 71, mengatakan kepada Chronicle dia ingin “bertindak sebagai penyeimbang” jika kerumunan seperti yang menyerbu US Capitol di Washington DC minggu lalu datang lagi.
Tak lama setelah kerusuhan itu, Twitter memberlakukan larangan permanen pada akun Trump -yang memiliki 88 juta pengikut. Penutupan itu dipicu oleh berbagai pelanggaran aturan dan risiko “hasutan kekerasan lebih lanjut”.
Trump menuduh perusahaan tersebut berkonspirasi dengan “Radikal Kiri”, sementara beberapa pemimpin internasional termasuk Kanselir Jerman, Angela Merkel menyebut larangan itu “bermasalah.”
Platform lain termasuk Facebook dan Snapchat juga telah menutup akun Trump.
Sementara itu, Partai Demokrat AS telah meluncurkan proses pemakzulan terhadap Trump untuk kedua kalinya dengan tuduhan “hasutan pemberontakan” atas serangan di Capitol, yang menyebabkan lima orang tewas.