
TIKTAK.ID – Parlemen Turki akhirnya mengesahkan undang-undang yang dimaksudkan untuk mengontrol platform media sosial. Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa undang-undang itu merupakan ancaman besar bagi kebebasan berekspresi di Turki.
Undang-undang baru itu mewajibkan perusahaan media sosial dengan lebih dari juta pengguna di Turki untuk mendirikan kantor lokal mereka dan mematuhi permintaan Pemerintah untuk menghapus konten.
Jika perusahaan menolak, maka mereka menghadapi denda yang besar dan mungkin akan mendapatkan sanski berupa pemotongan kecepatan data, tulis BBC.
Sementara itu, pihak Facebook, Twitter dan YouTube belum berkomentar terkait undang-undang baru di Turki itu.
Presiden Recep Tayyip Erdogan menggambarkan situs media sosial sebagai sesuatu yang “tidak bermoral” dan terang-terangan menunjukkan keinginannya untuk dapat mengontrol mereka dengan ketat.
RUU itu diajukan oleh partai berkuasa AKP dan mitranya MHP, yang bersama-sama memiliki suara mayoritas di parlemen, dan disahkan pada Rabu pagi.
Pada masa lalu pihak berwenang Turki untuk sementara telah memotong bandwidth internet guna menghentikan warga menggunakan media sosial, setelah terjadinya serangan teror.
Di bawah undang-undang baru ini, platform media sosial menghadapi pemotongan bandwidth hingga 95%, akibatnya platform media sosial itu akan sangat sulit untuk diakses.
Hingga saat ini media sosial masih menjadi alat penting untuk menyuarakan perbedaan pendapat di negara itu dan para kritikus mengatakan langkah itu akan mengarah pada langkah penyensoran yang lebih luas. Tagar #SansurYasasinaDurDe yang artinya ‘Serukan Hentikan Hukum Sensor’ telah menjadi tren di Twitter pada Selasa kemarin.
Amnesty International menggambarkan undang-undang itu sebagai “serangan terbaru, dan mungkin paling berani terhadap kebebasan berekspresi di Turki”.
“Undang-undang internet secara signifikan meningkatkan jangkauan Pemerintah ke polisi dan menyensor konten online, memperburuk risiko bagi mereka yang sudah menjadi sasaran kejam oleh pihak berwenang hanya karena mengekspresikan pendapat yang berbeda,” kata peneliti kelompok hak asasi manusia Turki, Andrew Gardner.
Juru Bicara Kepresidenan, Ibrahim Kalin membantah bahwa undang-undang itu akan mengarah pada penyensoran, dengan mengatakan aturan itu dimaksudkan untuk membangun hubungan komersial dan hukum dengan platform media sosial.