TIKTAK.ID – Kantor Perdana Menteri Sudan, pada Rabu (6/1/21) mengatakan bahwa Menteri Kehakiman, Nasredeen Abdulbari menandatangani perjanjian dengan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin yang berkunjung ke Sudan.
Penjabat Menteri Keuangan Sudan Hiba Ahmed dan Mnuchin juga “menandatangani nota kesepahaman di Khartoum untuk memberikan fasilitas pembiayaan dan pada hari yang sama juga membayar tunggakan utang Sudan ke Bank Dunia”, kata kantornya melalui sebuah rilis, seperti yang dilaporkan Aljazeera.
“Langkah ini akan memungkinkan Sudan untuk mendapatkan kembali akses lebih dari $ 1 miliar dalam pembiayaan tahunan dari Bank Dunia untuk pertama kalinya dalam 27 tahun”, tambah pernyataan itu.
Imbalan itu diberikan AS setelah Sudan meneken “Abraham Accords” dengan Amerika Serikat meskipun ketika pertama kali diumumkan pada Oktober tahun lalu, langkah itu ditolak oleh partai politiknya.
“Abraham Accords” merupakan sebutan untuk pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.
Kedutaan Besar AS di Khartoum mengatakan perjanjian itu akan “membantu Sudan lebih jauh dalam jalur transformatifnya menuju stabilitas, keamanan, dan peluang ekonomi”.
Penandatanganan itu dilakukan lebih dari dua bulan setelah Presiden AS, Donald Trump mengumumkan bahwa Sudan akan mulai menormalisasi hubungan dengan Israel.
Partai politik Sudan menolak keputusan Pemerintah untuk menormalisasi hubungan dengan Israel pada saat diumumkan, dengan para pejabat mengatakan mereka akan membentuk front oposisi untuk menentang perjanjian tersebut.
Partai Kongres Populer Sudan, komponen paling menonjol kedua dari koalisi politik Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC), dalam sebuah pernyataan mengatakan pada Oktober lalu bahwa rakyat Sudan tidak diwajibkan untuk menerima kesepakatan normalisasi itu.
Mantan Perdana Menteri Sudan, Sadiq al-Mahdi juga mengecam pengumuman tersebut, menambahkan bahwa dia menarik diri dari konferensi yang diselenggarakan Pemerintah pada saat itu sebagai bentuk protes.
Tahun lalu, pemerintahan Trump merekayasa pakta diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab serta Bahrain -yang pertama sejak Yordania mengakui Israel pada 1990-an dan Mesir pada 1970-an. Kemudian diikuti oleh Maroko yang juga menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Semua kesepakatan itu dilakukan dengan negara-negara yang secara geografis jauh dari Israel dan hanya memainkan peran kecil, jika terjadi konflik Arab-Israel.
Kesepakatan itu juga berkontribusi pada isolasi parah dan melemahnya rakyat Palestina dengan mengikis konsensus Arab yang telah lama ada bahwa pengakuan Israel hanya boleh diberikan sebagai imbalan atas konsesi dalam proses perdamaian.