TIKTAK.ID – Selain pengakuan langsung Washington pasca kejadian, fakta bahwa pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani diotaki Amerika Serikat, sudah banyak diungkap ke publik.
Namun berkenaan dengan respons tegas Iran pasca serangan yang menyatakan tak mengecualikan keterlibatan Israel dalam konspirasi keji pembunuhan terhadap Komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam Iran tersebut, pada awalnya masih belum benar-benar dipahami oleh banyak pihak.
Hingga akhirnya muncul analisa yang disampaikan Federico Piaracinni dari The Strategic Culture Foundation, sekaligus analis independen tentang geopolitik, yang menulis di situs The Duran, Kamis (9/1/20), bahwa sebab pembunuhan Qassem Soleimani menurutnya jauh lebih pelik dari yang dibayangkan orang.
Baca juga: 6 Fakta Di Balik Pembunuhan Jenderal Iran Qassem Soleimani yang Tidak Diungkap Media
Peristiwa itu termasuk klimaks ketegangan antara Trump dan PM Irak Adel Abdul Mahdi. Juga bahwa spektrum peristiwanya menyangkut kepentingan besar China, Saudi Arabia, dan juga Qatar. Tak terkecuali dan utamanya, duet sekutu abadi Amerika dan Israel.
Kasusnya juga menyangkut bisnis migas Timur Tengah, pemenuhan infrastruktur dan kelistrikan di Irak, serta masa depan dolar AS sebagai alat transaksi dagang internasional.
Kok bisa? Begini konstruksi ceritanya menurut Pieracinni.
Kisah gelap ini sesungguhnya sebagian kecil sudah dibuka Adel Mahdi lewat serangkaian pernyataannya di televisi setelah Soleimani terbunuh, dan lebih detil lagi diungkapkannya di parlemen Irak. Meski usahanya membuka rahasia ini, dihalang-halangi AS lewat Ketua DPR Irak, Mohammad al-Halboussi, tokoh berlatar Sunni, dan punya loyalis cukup kuat. Gedung Putih menggunakan golongan ini untuk menekan Adel Abdul Mahdi.
Baca juga: Bunuh Jenderal Soleimani, Muhammadiyah: Amerika Negara Teroris
Lantas kenapa Abdul Mahdi yang digencet?
Trump dan Abdul Mahdi selama berminggu-minggu ternyata terlibat pembicaraan sangat serius. Aksi demonstrasi besar di Irak akhir tahun lalu, tak lepas dari masalah ini.
AS memang ada di balik gerakan mendelegitimasi pemerintahan Abdul Mahdi dengan isu korupsi. Persis seperti pola gerakan massa yang digunakan di Mesir 2009, Libya 2011, Maidan 2014.
Irak di tengah gejolak ini ternyata sedang bernegosiasi dengan China terkait proyek kelistrikan.
Dalam usaha membuka kedok hitam ini di parlemen dan kepada publik, Halboussi benar-benar berusaha mematahkannya. Tapi Mahdi berusaha keras menyuarakan usaha Amerika untuk membuat Irak kembali hancur. Bahwa Washington ingkar janji terkait proyek pemulihan infrastruktur dan kelistrikan Irak, dan meminta bagian 50 persen pendapatan sektor minyak Irak, tapi Abdul Mahdi menolaknya. Karena itulah Abdul Mahdi berpaling ke China, meneken perjanjian proyek konstruksi.
Halaman selanjutnya…