
TIKTAK.ID – Setidaknya 49 wartawan tewas selama 2019. Sedangkan 57 lainnya disandera dan 389 dipenjara, kata kelompok nirlaba Reporters Without Borders, Selasa (17/12/19), seperti yang dilaporkan CNN.
Dalam laporan tahunannya, kelompok yang bermarkas di Paris ini menyebutkan bahwa jumlah wartawan yang tewas pada tahun ini paling rendah sejak 16 tahun lalu. Bila dilihat angkanya “secara historis rendah” dibandingkan dengan rata-rata 80 wartawan tewas per tahun selama dua dekade terakhir.
Menurunnya jumlah wartawan yang tewas tahun ini kata mereka, karena berkurangnya jumlah wartawan yang tewas di zona perang. Mereka bilang ada 941 wartawan terbunuh dalam 10 tahun terakhir.
Baca juga: Partai Oposisi Demo Keputusan Pemerintah Thailand
Pada tahun ini jumlah wartawan yang tewas di konflik Suriah, Irak, Yaman dan Afghanistan menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, di negara-negara yang tak berperang, jumlah wartawan yang tewas masih tetap “sama” dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Sekitar 63% wartawan yang tewas di seluruh dunia dibunuh atau secara sengaja dijadikan sasaran,” tulis laporan Reporters Without Borders.
Jumlah wartawan tewas di Meksiko pada tahun ini sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 10 wartawan. Di seluruh Amerika Latin sendiri pada tahun ini ada 14 wartawan tewas. Dengan jumlah itu, Amerika Latin sama mematikannya bagi wartawan seperti di Timur Tengah.
Lembaga ini juga mencatat 8 wartawan dbunuh di Brasil, Chili, Meksiko, Honduras, Kolombia dan Haiti. Namun, jumlah ini belum ditambahkan ke dalam laporan tahunan, karena verifikasi yang tertunda.
Sementara itu, koordinator program Amerika Tengah dan Selatan dari Commite to Protect Journalists Natalie Southwick mengatakan, meski Amerika Tengah dan Selatan bukan zona aktif perang tapi tingkat kekerasannya setara.
“Amerika Tengah dan Selatan adalah sebuah wilayah dengan tingkat kekerasan endemik yang sangat tinggi di seluruh dunia, meskipun mereka bukan di zona konflik,” kata Southwick.
Ancaman lain selain perang bagi Southwick adalah ancaman dari kejahatan terorganisir. Bahkan, Southwick bilang saat ini telah bergeser, sebab secara historis negara telah menjadi salah satu agresor utama kepada wartawan.
“Kami melihat, terutama di tempat-tempat di mana negara tidak benar-benar hadir, Di sana ada kehadiran yang jauh lebih kuat, yaitu kejahatan terorganisir yang menjadi ancaman utama,” katanya.
Baca juga: Jubirsus Gerindra Yakin Jokowi Pilih Orang Terbaik untuk Dewan Pengawas KPK
Saouthwick mengatakan, wartawan yang berfokus pada masalah lingkungan di Amerika Tengah dan Selatan, semakin terjebak dalam situasi yang berbahaya.
“Wartawan yang melaporkan masalah-masalah itu dan para aktivis terjebak dalam ancaman yang sama seperti yang dihadapi para aktivis itu sendiri,” katanya.
Southwick mengatakan sangat penting bahwa pemerintah melawan kejahatan terorganisir dan impunitas. “Mereka [gerombolan penjahat terorganisasi] berpikir bahwa tidak ada konsekuensi bila membunuh wartawan.”
Sementara itu Sekjen Reporters Without Borders Christophe Deloire menyatakan menyambut baik turunnya jumlah wartawan yang tewas di zona perang dan belum pernah terjadi sebelumnya. Namun pada saat yang sama, semakin banyak wartawan yang sengaja dibunuh karena pekerjaan mereka. Bahkan, ini terjadi di negara-negara demokratis.
Baca juga: Polisi Tetapkan Penghina Ma’ruf Amin sebagai Tersangka
“Ini tantangan yang nyata bagi demokrasi di lokasi para wartawan hidup dan bekerja,” kata Deloire.
Reporters Without Borders juga mencatat bahwa jumlah wartawan yang ditahan dengan sewenang-wenang 12% lebih tinggi dari 2018. Sebanyak 389 wartawan dipenjara sehubungan dengan pekerjaan mereka.
Dalam laporan mereka, sepertiga dari wartawan yang ditahan dengan sewenang-wenang dilakukan oleh China.