TIKTAK.ID – Ribuan orang Thailand turun ke jalan-jalan untuk melakukan protes pada Sabtu (17/10/20). Mereka menentang tindakan kekerasan yang dilakukan Pemerintah dan monraki terhadap para demonstran selama tiga bulan terakhir.
Mengutip Reuters, pada Jumat kemarin, untuk pertama kalinya Polisi menggunakan meriam air dan menutup sebagian besar sistem transportasi kota pada Sabtunya untuk mencoba menggagalkan pengunjuk rasa, tetapi pengunjuk rasa berkumpul di mana pun mereka bisa.
Tang, seorang pekerja kantoran berusia 27 tahun mengatakan dia bergabung dengan ribuan orang yang melakukan protes di stasiun Lat Phrao pada Sabtu ini setelah melihat gambar polisi menembakkan meriam air ke pengunjuk rasa yang dipimpin pemuda, termasuk banyak anak sekolah.
“Itu sudah melewati batas. Kami ingin menunjukkan kepada mereka kekuatan kami dan kami tidak dapat menerima ini,” katanya.
Banyak pengunjuk rasa lainnya menyuarakan kemarahan yang sama dan mengatakan mereka keluar melakukan protes untuk pertama kalinya.
Protes telah memicu puluhan ribu orang turun ke jalan untuk menuntut pencopotan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, mantan penguasa militer. Mereka juga secara terbuka mengkritik Raja Maha Vajiralongkorn meskipun ada Undang-Undang Lese Majeste yang bisa berarti 15 tahun penjara karena menghina monarki.
Pada Kamis sebelumnya, Pemerintah melarang semua pertemuan politik yang terdiri dari lima orang atau lebih. Polisi menangkap lebih dari 50 orang -termasuk beberapa pemimpin demonstran- dalam seminggu terakhir.
“Kekerasan atau tidak, semua pertemuan ilegal,” kata Juru Bicara Polisi, Yingyos Thepjamnong pada konferensi pers.
Tetapi polisi tidak segera berusaha menghentikan protes yang dilakukan di Lat Phrao.
Juru Bicara Pemerintah, Anucha Burapachaisri mengatakan kepada Reuters, “Tidak ada menang atau kalah bagi pihak mana pun. Itu semua merusak negara.”
Istana Kerajaan tidak mengomentari protes tersebut, tetapi Raja mengatakan Thailand membutuhkan orang-orang yang mencintai negara dan monarki.
Para pengunjuk rasa mengatakan Prayuth merekayasa pemilu tahun lalu untuk mempertahankan kekuasaan yang direbutnya dalam kudeta 2014 -sebuah tuduhan yang dia bantah. Mereka mengatakan monarki telah membantu melestarikan pengaruh politik selama bertahun-tahun oleh tentara dan berusaha mengekang kekuasaannya.
Para pengunjuk rasa di Lat Phrao meneriakkan, “Prayuth keluar” dan makian dengan memanggilnya “Tu”, nama panggilan Perdana Menteri.
“Saya mengutuk mereka yang menindak para pengunjuk rasa dan mereka yang memerintahkannya. Anda semua memiliki darah di tangan Anda,” pemimpin protes Tattep Ruangprapaikitseree, mengatakan setelah dibebaskan dengan jaminan setelah penangkapannya pada Jumat kemarin.
Uang jaminan juga diberikan kepada salah satu dari dua aktivis yang dituduh mencoba menyakiti Ratu setelah pengunjuk rasa meneriaki iring-iringan mobilnya pada Rabu lalu.
Kelompok hak asasi manusia mengutuk puluhan penangkapan dan penggunaan kekerasan yang dilakukan Pemerintah terhadap protes damai di negara itu.
“Pemerintah yang peduli dan Perserikatan Bangsa-Bangsa harus berbicara secara terbuka untuk menuntut segera diakhirinya represi politik oleh pemerintahan Prayuth,” kata Direktur Asia di Human Rights Watch, Brad Adams, dalam sebuah pernyataan.