TIKTAK.ID – Media Pemerintah Korea Utara memperingatkan kaum mudanya agar tidak menggunakan bahasa gaul Korea Selatan dan memintanya berbicara dalam bahasa standar Korea Utara.
Selain itu, ada juga peringatan baru di surat kabar resmi Korea Utara yang melarang para milenial di negara itu mengadopsi mode, gaya rambut, dan musik Korea Selatan.
Itu merupakan bagian dari undang-undang baru yang berusaha untuk membasmi segala jenis pengaruh asing, dengan hukuman yang keras.
Mereka yang ditemukan melanggar hukum itu dapat diganjar hukuman penjara atau bahkan eksekusi mati.
Surat kabar Rodong Sinmun memperingatkan kaum milenial tentang bahaya mengikuti budaya pop Korea Selatan.
“Penetrasi ideologis dan budaya di bawah papan warna-warni borjuasi bahkan lebih berbahaya daripada musuh yang angkat senjata”, tulis artikel itu, seperti yang dilansir BBC, Minggu (18/7/21).
Artikel itu juga menekankan bahwa bahasa Korea berdasarkan dialek Pyongyang lebih unggul, dan bahwa kaum muda harus menggunakannya dengan benar.
Korea Utara baru-baru ini berusaha mengikis bahasa gaul Korea Selatan. Contoh bahasa gaul seperti ketika seorang wanita memanggil suaminya “Oppa” – yang berarti “kakak laki-laki” tetapi sering digunakan untuk menyebut pacar.
Pengaruh asing dipandang sebagai ancaman bagi Pemerintah Korea Utara, dan itu karena cengkeraman Pemimpin Tertinggi Kim Jong-un pada kekuasaan.
Dia baru-baru ini menyebut K-pop sebagai “kanker ganas” yang merusak kaum muda Korea Utara, menurut New York Times.
Siapa pun yang tertangkap dengan sejumlah besar media dari Korea Selatan, Amerika Serikat atau Jepang sekarang menghadapi hukuman. Mereka yang tertangkap menontonnya dapat berakhir di kamp penjara cukup lama.
Namun terlepas dari risikonya, pengaruh asing terus meresap ke Utara, dan jaringan penyelundupan yang sangat canggih untuk membawa media terlarang dilaporkan terus beroperasi.
Beberapa pembelot Korea Utara mengatakan bahwa menonton drama Korea Selatan berandil besar atas keputusan mereka untuk melarikan diri.
Seorang profesor di Universitas Studi Korea Utara, Yang Moo-jin mengatakan kepada Korea Herald bahwa Kim, yang dididik di Swiss, “sangat menyadari bahwa K-pop atau budaya Barat dapat dengan mudah meresap ke generasi muda dan memiliki dampak negatif yang dapat berdampak pada sistem sosialisnya”.
“Dia tahu bahwa aspek budaya ini dapat membebani sistem. Jadi dengan menghapusnya, Kim mencoba mencegah masalah lebih lanjut di masa depan.”