TIKTAK.ID – Presiden Prancis, Emmanuel Macron pada Jumat (2/10/20) menuntut Turki menjelaskan apa yang dia sebut sebagai kedatangan kelompok jihadis di Azerbaijan dan mendesak NATO untuk menyikapi tindakan sekutunya.
“Garis merah telah dilintasi, hal yang tidak dapat diterima,” kata Macron. “Saya mendesak semua mitra NATO untuk menyikapi perilaku anggota NATO,” tulis France24.
“Tanggapan Prancis adalah meminta penjelasan Turki tentang hal ini,” katanya.
Macron berbicara setelah pertemuan puncak di Brussel di mana para pemimpin Uni Eropa setuju untuk mengancam Turki dengan sanksi atas pengeboran gas yang dilakukannya di perairan Siprus.
Tetapi pemimpin Prancis itu juga marah dengan kejadian di Nagorno-Karabakh yang disengketakan, di mana telah terjadi pertempuran sengit antara pasukan Armenia dan Azerbaijan.
Dia menuduh bahwa laporan intelijen telah menetapkan ada 300 pejuang Suriah yang ditarik dari “kelompok-kelompok jihadis” dari kota Aleppo di Suriah telah melewati kota Gaziantep di Turki dan kini dalam perjalanan ke Azerbaijan.
“Para pejuang ini dikenal, dilacak dan diidentifikasi,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia akan memanggil Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan “dalam beberapa hari mendatang”.
Armenia menuduh Turki mengirim tentara bayaran untuk mendukung sekutunya Azerbaijan dan pada Senin kemarin, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris mengatakan Ankara telah mengirim setidaknya 300 proxy dari Suriah utara ke Azerbaijan.
Macron minggu ini mengutuk apa yang dia sebut sebagai pernyataan Turki yang “sembrono dan berbahaya” yang mendukung Azerbaijan.
Jika apa yang dituduhkan Presiden Prancis Emanual Macron bahwa Turki mengirim tentara bayaran dari kelompok di Suriah, maka ini artinya Turki telah terlibat dalam sengketa di sejumlah negara. Yaitu di Suriah, Libya, Irak, dan kini di Nagorno-Karabakh.
Nagorno-Karabakh, wilayah pemisahan etnis mayoritas Armenia di Azerbaijan, mendeklarasikan kemerdekaan setelah jatuhnya Tirai Besi, memicu perang di awal 1990-an yang merenggut 30.000 jiwa.
Wilayah itu tidak diakui sebagai negara merdeka oleh negara mana pun, termasuk Armenia, dan pembicaraan untuk menyelesaikan konflik sebagian besar terhenti sejak perjanjian gencatan senjata pada 1994.