
TIKTAK.ID – Menghadapi situasi bauran krisis ekonomi dengan masuknya tahun politik yang tak diimbangi dengan kecakapan kinerja Kabinet sebagai instrumen pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada 2022 mendatang, disebut-sebut akan rawan terjadi turbulensi politik di Kabinet Jokowi.
“Ini akan menjadi masalah serius, mana kala kabinet Jokowi tidak seirama dan tidak serius dalam mengenali serta menangani masalah,” ujar mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad melalui keterangan tertulis, Jumat (23/4/21), seperti dilansir Beritasatu.com.
Mochtar mengatakan turbulensi politik bakal terjadi akibat terdapat banyak menteri dalam Kabinet yang berasal dari partai politik. Ia pun menilai akan terjadi konflik kepentingan antara menteri yang merupakan perwakilan partai politik itu dengan tahapan Pemilu berikutnya.
Berdasarkan UU No 7 tahun 2017 tantang Pemilihan Umum bahwa tahapan Pilpres 2024 dan tahapan Pemilu Legislatif 2024 pencoblosannya pada Maret 2024. Sementara itu, tahapan Pemilu tersebut telah dimulai 20 bulan sebelum pencoblosan. Artinya, pada Juli 2022 telah memasuki tahapan Pemilu, baik Pilpres maupun Pileg.
“Artinya adalah para menteri dari partai, yang berniat untuk menjadi calon presiden dan berniat untuk menjadi anggota legislatif, pikirannya akan bercabang di dalam tugasnya sebagai menteri dan misi politik dirinya menjelang Pileg dan Pilpres,” tutur pengurus DPD PDIP Jabar tersebut.
Ia melanjutkan, sejumlah anggota Kabinet terindikasi punya misi politik di Pilpres 2024. Ia menganggap anggota Kabinet itu rawan melakukan upaya penggalangan dana melalui kewenangan yang melekat pada dirinya, untuk kepentingan pribadi.
Kemudian Mochtar menyebut permasalahan yang dihadapi Kabinet Jokowi saat ini yaitu krisis ekonomi. Ia menjelaskan, sejak 2020 APBN dan APBD terkoreksi ataupun tidak mencapai target, sehingga terjadi perubahan parsial ke arah negatif. Ia pun mengklaim di APBN terjadi pengurangan dana perimbangan, di antaranya bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana transfer daerah berkurang.
“Di Jawa Barat sendiri sempat beberapa kali perubahan ke arah negatif, dan untuk memenuhi APBD itu harus berutang. Jawa Barat dilaporkan telah melakukan pinjaman Rp1,53 triliun. Contoh lainnya, di beberapa daerah di Jawa Barat pada triwulan pertama 2021 ini juga sudah melakukan perubahan parsial. Ini merupakan gejala negatif bahwa ancaman krisis itu nyata,” ucap Mochtar.