
TIKTAK.ID – Gelombang kelima Covid-19 Jepang secara dramatis punah yang menyebabkan sejumlah ilmuwan kebingungan dengan peristiwa ini. Sebuah tim peneliti mengindikasikan Covid-19 varian Delta yang sangat menular bermutasi hingga menyebabkannya punah di negeri itu.
Pada pertengahan Agustus, Jepang mengalami puncak infeksi Covid-19, mencatat lebih dari 23.000 kasus baru per hari. Sekarang metriknya hanya sekitar 170 per hari, dengan kematian sebagian besar tersisa satu digit bulan ini, seperti yang dilaporkan RT.
Penurunan tersebut oleh banyak orang dikaitkan dengan tingkat vaksinasi yang tinggi, penerimaan publik terhadap penggunaan masker, dan faktor lainnya, tetapi beberapa peneliti mengatakan penurunan itu terjadi secara unik, dibandingkan dengan negara lain dengan kondisi serupa.
Ahli genetika di National Institute of Genetics, Ituro Inoue percaya bahwa Jepang beruntung karena Delta sebagian besar membasmi varian lain dari virus SARS-CoV-2 sebelum kemudian memusnahkan dirinya sendiri. Dia menjelaskan teori timnya kepada surat kabar Japan Times minggu ini.
Untuk beberapa waktu Inoue dan rekan-rekannya meneliti mutasi SARS-CoV-2 dan bagaimana mereka dipengaruhi oleh protein nsp14, yang sangat penting untuk reproduksi virus.
Virus RNA, seperti yang menyebabkan Covid-19, cenderung memiliki tingkat mutasi yang sangat tinggi, yang membantu mereka beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan. Namun, ini membuka pintu untuk apa yang disebut “bencana kesalahan”. Yaitu ketika mutasi buruk menumpuk dan akhirnya menyebabkan kepunahan penuh suatu varian.
Protein nsp14 tampaknya berperan penting untuk terjadinya kesalahan yang membantu genom virus untuk tetap berada di bawah ambang “bencana kesalahan”.
“Kami benar-benar terkejut melihat temuan itu,” kata peneliti itu kepada Japan Times. “Varian Delta di Jepang sangat mudah menular dan [sedang] menjauhkan varian lain. Tetapi ketika mutasi menumpuk, kami percaya hal itu pada akhirnya menjadi kesalahan virus dan tidak dapat membuat salinan dirinya sendiri.”
Teori ini mungkin relevan dengan jenis SARS sebelumnya, yang diidentifikasi pada tahun 2003, yang menjelaskan mengapa virus itu tidak menyebabkan pandemi. Namun hal itu akan sulit dikonfirmasi, karena wabah berakhir relatif cepat dan tidak menghasilkan pengumpulan besar-besaran data genetik yang diperlukan untuk menguji hipotesis.
Tidak jelas mengapa Jepang mengalami pergantian peristiwa yang beruntung ini, tetapi tidak ada negara-negara Asia Timur lainnya seperti Korea Selatan yang mengalami seperti Jepang, meskipun populasinya secara genetik dekat dengan Jepang.
Mutasi virus serupa yang ditandai oleh para ilmuwan telah ditemukan di setidaknya 24 negara, kata Inoue. Dia dan timnya berencana untuk menerbitkan makalah yang merinci temuan mereka pada akhir November.
Bahkan jika teori kepunahan alami ini dikonfirmasi, itu hanyalah penangguhan sementara bagi orang-orang di Jepang. Sebab, varian baru yang lebih sukses kemungkinan akhirnya akan menemukan jalan mereka berkembang di negara itu, meskipun tindakan karantina dan kontrol imigrasi dapat menunda munculnya varian baru di Jepang, kata Inoue.
Sementara itu, Tokyo tengah bersiap menghadapi gelombang baru Covid-19 pada musim dingin ini dan bersiap untuk hidup berdampingan dengan virus tersebut.
Pemerintah dilaporkan berencana untuk melonggarkan pembatasan perjalanan dengan meningkatkan jumlah orang yang diizinkan masuk ke negara itu per hari dari 3.500 menjadi 5.000.