TIKTAK.ID – Parlemen Eropa mencoret nama pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dari “komunitas Penghargaan Sakharov” karena dia “membiarkan” negaranya melakukan kejahatan terhadap komunitas Rohingya, tulis Al Jazeera, Kamis (10/9/20).
“Keputusan ini memberikan sanksi atas kurangnya tindakan dan penerimaannya atas kejahatan yang sedang berlangsung terhadap komunitas Rohingya di Myanmar”, tulis Juru Bicara Parlemen Eropa, Jaume Duch Guillot melalui akun Twitterrnya. Keputusan itu diambil oleh Konferensi Presiden Parlemen, yang terdiri dari presiden Badan tersebut dan para pemimpin kelompok politik.
Sebelumnya Majelis Uni Eropa menganugerahi mantan juru kampanye demokrasi itu dengan penghargaan hak asasi manusia tertinggi pada 1990, setahun sebelum dia menerima Hadiah Nobel Perdamaian, tetapi dia kini tidak lagi dapat menjadi bagian dalam acara itu.
Sebuah sumber yang dekat dengan Parlemen mengatakan bahwa hadiah tersebut telah diberikan untuk karya Aung San Suu Kyi sebelum 1990 dan tidak dapat ditarik kembali tetapi pengecualian ini, yang dibuat pada Kamis 10 September, adalah sanksi terkuat yang diberikan oleh anggota parlemen.
Penghargaan Sakharov untuk Kebebasan Berpikir dibuat pada 1988 oleh Parlemen Eropa dan diberikan kepada individu dan kelompok atas kerja luar biasa mereka dalam membela hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Lebih dari 700.000 penduduk Rohingya, sebagian besar merupakan minoritas Muslim, terpaksa melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah militer Myanmar melakukan penumpasan berdarah pada 2017, yang menurut kesimpulan penyelidik PBB dilakukan dengan “niat genosida”.
Namun, Myanmar menolak tuduhan genosida itu dan sebagian besar tuduhan kekerasan yang dipimpin militer tersebut, dengan mengatakan bahwa tindakannya dimaksudkan untuk melindungi negara dari “militan” Rohingya.
Dalam pidatonya pada Desember di Mahkamah Internasional (ICJ) yang berlangsung sekitar 30 menit, Aung San Suu Kyi membela militer negaranya dari tuduhan genosida, tetapi dia tidak menggunakan kata Rohingya sama sekali, dalam pidato sebanyak 3.379 kata itu.
Kritikus mengatakan penolakannya atas tuduhan tersebut adalah bagian dari upaya Myanmar untuk melucuti identitas dan hak minoritas penduduk Muslim Rohingya.