
TIKTAK.ID – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menuturkan bahwa banyaknya versi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja usai disahkan dalam rapat paripurna Senin (5/10/20) lalu, merupakan akibat dari proses legislasi yang dipaksakan.
“Jadi kesimpangsiuran draf adalah akibat dari proses yang dipaksakan. Ingat juga bahwa tanpa persetujuan, sebenarnya diagendakan 8 Oktober [paripurna]. Mendadak saja diubah menjadi 5 Oktober,” jelas Bivitri kepada Kontan.co.id pada Senin (12/10/20).
Bivitri menjelaskan, fakta yang terjadi beleid sapu jagat tersebut terlihat begitu diburu-buru pembahasannya. Terlihat dari fakta bahwa pada Sabtu (3/10/20) Bivitri menyebut pembahasan sudah selesai dan dua hari kemudian yaitu 5 Oktober 2020 sudah disetujui dalam rapat paripurna.
Baca juga : Ferdinand Si ‘Duri dalam Daging’ Akhirnya Hengkang dari Partai Demokrat, Netizen Bersukacita. Kenapa?
Pembahasan yang dilakukan pada malam hari dan akhir pekan saja sudah dinilai Bivitri tidak wajar. Terlebih menurutnya di masa pandemi, yang DPR sendiri sebenarnya sudah mengatur bahwa rapat-rapat dilaksanakan maksimal sampai pukul 16.00 WIB.
“Kemudian, ingat bahwa ini RUU ‘raksasa’, ada seribuan halaman, tentu saja tidak sempat untuk merapikan draf selama sehari yaitu hari Minggu, sebelum rapat Senin. Bayangkan saja revisi skripsi, kalau tebalnya 1.000 halaman dan dibahas banyak dosen dan banyak dosen memberi masukan revisi, apa sanggup kita perbaiki dalam waktu sehari?” jelasnya.
Terkait banyaknya versi draf Omnibus Law Cipta Kerja, ditekankan Bivitri, dalam proses politik dan kenegaraan seperti saat ini, komunikasi politik sangatlah penting. Apalagi posisi wakil rakyat serta Presiden merupakan pejabat negara yang dipilih langsung oleh rakyat.
Baca juga : Bintang Kemukus Muncul di Langit Jawa, Pertanda Kejatuhan Jokowi dari Panggung Kuasa?
Maka para pemilih atau publik berhak tahu apa yang sebenarnya disetujui dan tentunya pejabat juga punya pertanggungjawaban politik ke publik yang telah memilih mereka.
Halaman selanjutnya…