TIKTAK.ID – Ribuan orang turun ke jalan menentang kudeta militer bulan lalu di Sudan, dengan pasukan keamanan menembak mati sedikitnya 15 orang dan melukai puluhan lainnya, kata petugas medis.
Korban tewas -semuanya di Ibu Kota Khartoum, terutama distrik utaranya- menambah jumlah korban tewas menjadi 39 jiwa dan ratusan lainnya terluka, menyusul protes sejak militer merebut kekuasaan, kata serikat dokter pro-demokrasi.
Para pengunjuk rasa berbaris di Khartoum dan kota kembarnya Bahri dan Omdurman pada Rabu (17/11/21) ketika pasukan keamanan menembakkan peluru tajam dan gas air mata setelah komunikasi telepon seluler diputus militer pada hari sebelumnya, seperti yang dilansir Al Jazeera.
Polisi membantah menggunakan peluru tajam dan televisi Pemerintah mengumumkan penyelidikan atas peristiwa tersebut.
Serikat dokter mengatakan sebagian besar korban menderita luka tembak di “kepala, leher atau dada”, dan menambahkan bahwa para demonstran, tak terpengaruh dan terus melakukan protes.
Dalam sebuah pernyataannya, Komite Sentral Dokter Sudan (CCSD) mengatakan pasukan keamanan “menggunakan peluru tajam di berbagai wilayah Ibu Kota” dan ada “puluhan luka tembak, beberapa di antaranya dalam kondisi serius”.
CCSD juga mengatakan pasukan keamanan telah menangkap orang-orang yang terluka di dalam rumah sakit Khartoum.
Asosiasi Profesional Sudan, payung serikat pekerja yang berperan dalam protes 2019, mengecam “kejahatan besar terhadap kemanusiaan” dan menuduh pasukan keamanan melakukan “pembunuhan terencana”.
“Pembantaian hari itu memperkuat slogan kami: tidak ada negosiasi, tidak ada kemitraan, tidak ada kompromi dengan militer,” kata penyelenggara protes dari SPA.
Para demonstran turun ke jalan menentang tindakan keras mematikan oleh pasukan keamanan yang telah menewaskan puluhan orang sejak militer merebut kekuasaan bulan lalu.
Para pengunjuk rasa menuntut penyerahan penuh kekuasaan kepada Pemerintahan sipil dan agar para pemimpin kudeta diadili di pengadilan.
Jenderal tertinggi Sudan, Abdel Fattah al-Burhan mengumumkan keadaan darurat pada 25 Oktober, membubarkan Pemerintah dan menahan para pemimpin sipil.
Pekan lalu, al-Burhan menunjuk Dewan Kedaulatan Pemerintahan baru, menggantikan Pemerintah transisi negara itu, yang terdiri dari tokoh-tokoh sipil dan militer.
Dewan itu dibentuk pada 2019 sebagai bagian dari perjanjian pembagian kekuasaan antara militer dan warga sipil dengan tugas mengawasi transisi Sudan ke demokrasi setelah pemberontakan rakyat yang menyebabkan penggulingan penguasa lama, Omar al-Bashir.
Beberapa pengunjuk rasa pada Rabu kemarin membawa foto-foto orang yang terbunuh dalam protes sebelumnya dan Abdalla Hamdok, Perdana Menteri sipil yang ditempatkan berada dalam tahanan rumah selama kudeta, dengan slogan: “Legitimasi datang dari jalan, bukan dari meriam.”
Gambar protes di kota-kota besar termasuk Port Sudan, Kassala, Dongola, Wad Madani dan Geneina terus diposting di media sosial.