
TIKTAK.ID – Tersangka kasus penodaan agama, Jozeph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoelyono, mengklaim bahwa dirinya mau pulang ke Indonesia, asalkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjemputnya untuk dijadikan sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.
“Jokowi itu jemput saya jadi menteri agama. Saya pulang nanti kalau dijadikan menteri agama. Kalau saya jadi presiden ya jangan, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dulu jadi presiden. Kalau saya kejauhan,” ujar Paul Zhang, seperti dilansir Viva.co.id dari YouTube Hagios Eropa pada Jumat (23/4/21).
Perlu diketahui, kini Paul Zhang sedang diburu oleh Tim Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri), usai ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama. Paul Zhang sempat mengaku sebagai nabi ke-26.
Paul Zhang sendiri saat ini diduga berada di Jerman, sehingga Polri mengajukan red notice, dan permohonan pencabutan paspor ke Kementerian Hukum dan HAM. Sementara Paul Zhang mengatakan sudah melepas kewarganegaraan Indonesia.
“Kewarganegaraan baru otomatis membatalkan kewarganegaraan yang lama jika di Indonesia. Makanya saya menggunakan hukum itu saja,” ucap Paul Zhang.
Kemudian Paul Zhang meminta maaf kepada Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut, karena sudah menghinanya gendut. Ia pun berharap Gus Yaqut tidak menuntutnya ke jalur hukum karena dilecehkan gendut.
“Jadi permohonan maaf saya kepada Gus Yaqut selaku Menteri Agama, tolong jangan tuntut saya gara-gara ngatain Anda gendut, karena saya juga gendut. Terus terang, saya memang masih belum berdamai dengan diri masalah kegendutan, makanya saya ngatain kamu gendut. Tolong yang ini dimaafkan,” kata Paul Zhang.
Sebelumnya, Paul Zhang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama akibat mengaku nabi ke-26. Paul Zhang menyatakan hal itu ketika menggelar Zoom meeting berdiskusi dengan rekannya terkait “Puasa Lalim Islam” dan diunggah ke akun YouTube Joseph Paul Zhang pada Kamis, (15/4/21).
Paul Zhang pun dikenakan Pasal 28 Ayat (2) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE dan Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara.