TIKTAK.ID – Presiden Prancis Emmanuel Macron, melihat konflik di Ukraina kemungkinan besar dapat menyebar ke negara-negara tetangga. Pandangannya tersebut didasari atas insiden yang baru-baru ini terjadi di Transnistria, Moldova.
Dilansir Russian Today, Macron berbicara pada konferensi pers dengan rekannya dari Moldova Maia Sandu pada Kamis (19/5/22), Macron mengatakan bahwa “agresi yang tidak dapat diterima” Rusia terhadap Ukraina “menimbulkan ancaman bagi stabilitas seluruh kawasan dan, khususnya Moldova”.
Selama beberapa minggu terakhir, Transnistria telah melaporkan banyak terjadi serangan drone di dekat perbatasannya dengan Ukraina. Moldova menyebut peristiwa itu sebagai insiden misterius, dan tindakan “teror”. Dari sudut pandang Macron, insiden-insiden ini “menunjukkan bahwa penyebaran konflik ke negara-negara tetangga tidak dapat dikesampingkan”.
Presiden Prancis menekankan bahwa negaranya mengikuti perkembangan di kawasan itu dan tetap berkomitmen penuh untuk “stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritorial Moldova”.
Pernyataan Macron tersebut menggemakan pernyataan serupa Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin.
Bulan lalu, Kepala Pentagon itu mengomentari peristiwa Transnistria, mengatakan bahwa negaranya tidak ingin melihat “spillover” konflik di Ukraina. Rusia, yang pasukan penjaga perdamaiannya telah ditempatkan di wilayah yang memisahkan diri itu sejak gencatan senjata tahun 1992 yang membekukan konflik dengan Chisinau, juga mengatakan bahwa pihaknya “mengawasi situasi dengan sangat cermat”.
Memperhatikan bahwa Moldova, sebagai tetangga Ukraina, menghadapi situasi kemanusiaan yang “sangat sulit”, Macron memuji kemurahan hati negara itu dalam menangani pengungsi Ukraina dan berjanji untuk bekerja dengan mitranya dalam memberikan dukungan keuangan jangka panjang ke Chisinau.
Macron juga menyatakan harapannya bahwa Uni Eropa akan segera mengeluarkan pendapat tentang aplikasi keanggotaan Moldova, yang diajukan negara itu, bersama dengan Ukraina dan Georgia, setelah peluncuran operasi militer Rusia ke Ukraina.
“Kami memahami bahwa bergabung dengan UE adalah proses yang panjang, kami tidak menginginkan jalan pintas,” kata Sandu.
Rusia melancarkan operasi militer ke negara tetangganya itu pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina untuk mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas Republik Donbass di Donetsk dan Luhansk. Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis itu dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS. Sementara Kiev menuduh serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim bahwa pihaknya berencana untuk merebut kembali kedua Republik dengan paksa.