TIKTAK.ID – Militer Sudan menggulingkan pemerintahan yang sah dan merebut pemerintahan transisi. Kudeta itu memicu protes rakyat Sudan dengan turun ke jalan dan menentang kudeta tersebut. Akibatnya betrokan pun tak terelakkan, sedikitnya tiga orang tewas dan 80 lainnya luka-luka.
Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di Ibu Kota, Khartoum, dan kota kembarnya Omdurman menyusul penangkapan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan pejabat senior lainnya oleh pasukan keamanan di negara itu, pada Senin dini hari (25/10/21), seperti yang dilaporkan Al Jazeera.
Pemimpin kudeta tersebut, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, membubarkan Dewan Berdaulat militer-sipil yang telah dibentuk untuk membimbing negara menuju demokrasi setelah penggulingan pemimpin lama Omar al-Bashir dalam pemberontakan dua tahun lalu.
Al-Burhan, yang juga Kepala Dewan Pemerintahan Pembagian Kekuasaan, menyatakan keadaan darurat di seluruh negeri, mengatakan bahwa Angkatan Bersenjata perlu memastikan keamanan dan berjanji untuk mengadakan pemilihan pada Juli 2023 serta menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah sipil terpilih.
“Apa yang dialami negara saat ini merupakan ancaman dan bahaya nyata bagi impian para pemuda dan harapan bangsa,” katanya.
Abdalla Hamdok yang merupakan seorang ekonom dan mantan pejabat senior PBB yang diangkat sebagai Perdana Menteri teknokratis pada 2019, dipindahkan ke lokasi yang dirahasiakan setelah ia menolak mengeluarkan pernyataan untuk mendukung kudeta, kata Kementerian Informasi.
Ribuan orang Sudan yang menentang kudeta tersebut turun ke jalan dan menghadapi tembakan tentara di dekat markas militer di Khartoum.
Di kota kembar Khartoum, Omdurman, pengunjuk rasa membarikade jalan-jalan dan meneriakkan dukungan untuk Pemerintahan sipil.
Pasukan Kebebasan dan Perubahan, koalisi oposisi utama Sudan, menyerukan pembangkangan sipil dan protes di seluruh negeri dan menuntut agar Dewan Militer transisi menyerahkan kekuasaan kembali ke Pemerintah sipil.
Seorang aktivis Sudan untuk hak-hak perempuan di Tanduk Afrika, Hala al-Karib mengatakan bahwa Sudan sedang melalui “saat-saat yang sangat suram dalam sejarahnya” karena berada di “persimpangan jalan”.
Dia meminta masyarakat internasional untuk menekan militer agar menghormati Konstitusi dan kesepakatan dengan Dewan Sipil.
“Militer telah mencemarkan kesepakatannya dengan Pemerintah sipil dengan menahan perdana menteri dan beberapa menteri Kabinet,” kata al-Karib. “Orang-orang Sudan tidak tahu apakah mereka aman atau tidak.”
Negara itu berada di ujung tanduk sejak bulan lalu, ketika plot kudeta yang gagal dan dituduhkan pada pendukung al-Bashir memicu tuduhan antara militer dan warga sipil di Kabinet transisi.
Dalam beberapa pekan terakhir, koalisi kelompok pemberontak dan partai politik bersekutu dengan militer dan memintanya untuk membubarkan Pemerintah sipil, sementara menteri Kabinet ikut bagian dalam protes terhadap prospek kekuasaan militer.
Kudeta juga terjadi hanya beberapa minggu sebelum militer seharusnya menyerahkan kepemimpinan Dewan yang menjalankan negara itu kepada warga sipil.