
TIKTAK.ID – Kasus somasi atas pelanggaran hak cipta film “Sejauh Kumelangkah” karya Ucu Agustin yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan PT Telkom Indonesia (Telkom) masih belum tuntas juga.
Kali ini, lewat rilis pers, sekelompok pekerja seni Indonesia dari berbagai disiplin ilmu dan tradisi berkesenian, memutuskan untuk menggalang dukungan untuk memberikan kekuatan moral dan material kepada Ucu Agustin.
Berikut isi tuntutan mereka selengkapnya.
Siaran Pers
Lebih dari 200 Pekerja Seni dari 40 Kota Menuntut Perlindungan Hak Cipta serta Transparansi Program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Hingga 18 Oktober 2020, kasus pelanggaran hak cipta yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan PT Telkom Indonesia (Telkom) atas film “Sejauh Kumelangkah” karya Ucu Agustin masih berjalan.
Kemendikbud telah memenuhi satu tuntutan, yaitu meminta maaf secara publik, atas penayangan film tanpa izin di TVRI dalam program “Belajar dari Rumah” (BDR), namun tanpa menyebut telah juga mengubah isi dan bentuk—hingga pesan karya banyak yang hilang—tanpa sepengetahuan pembuat dan pemilik film. Selain itu, film tersebut juga ditayangkan ulang di UseeTV, sebuah platform penyiaran daring komersil milik Telkom.
Kami tahu pelanggaran hak cipta serta apa yang terjadi pada teman kami Ucu Agustin, bisa terjadi juga kepada kami. Karena itulah kami, sekelompok pekerja seni Indonesia dari berbagai disiplin ilmu dan tradisi berkesenian, memutuskan untuk menggalang dukungan untuk memberikan kekuatan moral dan material kepada Ucu Agustin.
Sejumlah 220 pekerja seni dari 35 kota di Indonesia dan belasan kota di dunia menyatakan dukungan supaya kasus ini bisa diselesaikan sesuai dengan tuntutan dari pihak Ucu yang disampaikan melalui kuasa hukumnya. Para penandatangan surat dukungan ini berasal dari berbagai disiplin ilmu dan tradisi berkesenian berbeda. Di antara mereka adalah Joko Anwar, Dwimas Angga Sasongko, Sammaria Sari Simajuntak (sutradara film), Nia Dinata dan Muhammad Zaidy (produser film), Cholil Mahmud dan Bonita (musisi), FX Harsono (seni rupa), Gratiagusti Chananya Rompas (penyair), Intan Paramaditha (penulis), Alia Swastika (kurator seni), Dandhy Dwi Laksono (videographer), Shalahuddin Siregar (pembuat film dokumenter), dan sebagainya. Dukungan juga dinyatakan oleh berbagai para pelaku profesi di dunia film dan kesenian seperti sinematografer, sound designer, make up artist, visual effect artist, peneliti, pengelola ruang kesenian, pengelola festival dan lain-lain.
Merespons kasus ini, Joko Anwar (sutradara film) berujar, “Output dari industri kreatif adalah karya dan hak cipta melekat dari tiap karya tersebut. Tidak menghargai hak cipta berarti mensabotase keberadaan dan kemajuan industri kreatif. Jika ini dilakukan Pemerintah, ini bukan saja ironis. Ini menyedihkan.”
Nia Dinata (produser film) menyatakan *Setiap karya apa pun, pasti ada hak cipta melekat padanya. Untuk film apa pun, juga menyatu hak cipta di dalamnya. Kasus Ucu adalah pelajaran publik karena setiap orang yang berkarya harusnya menyadari hal itu, sehingga ketika ada yang meminjam, menyewa, membeli karya tersebut, sudah seharusnya menjalankan kedisiplinan yang dituangkan dalam persetujuan bersama berupa kontrak atau perjanjian. Indonesia harus terbiasa berdisiplin saling menghormati demi transparansi dan keadilan sosial bersama.”
Intan Paramaditha (penulis dan dosen kajian media Macquarie University, Sydney, Australia) menyampaikan rasa prihatinnya, “Dari isu pengambilan keputusan hingga pengelolaan anggaran, transparansi masih menjadi persoalan besar institusi negara. Dalam membayangkan pelayanan dan pendidikan publik, instit…