TIKTAK.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka suara terkait krisis bertubi-tubi yang melanda dunia. Jokowi menegaskan bahwa situasi saat ini tidak biasa-biasa saja.
“Setelah hampir 2,5 tahun, dunia, seluruh negara mengalami sakit berbarengan, sakit bersama-sama akibat pandemi Covid-19, dan baru akan melakukan pemulihan. Namun muncul sesuatu yang dadakan dan tidak kita perkirakan sebelumnya,” ujar Jokowi dalam kegiatan Zikir Kebangsaan bersama para ulama dan tokoh agama di Istana Merdeka, pada Senin (1/8/22), seperti dilansir detik.com.
Menurut Jokowi, ketika pandemi Covid-19 belum usai, dunia dihadapkan lagi pada dampak perang di Ukraina. Jokowi pun menilai hampir semua negara berada dalam situasi yang sulit.
Baca juga : Jokowi Minta Relawannya Tak Buru-Buru Bahas Pencapresan dan Fokus Bantu Pemerintah Pulihkan Ekonomi
“Padahal sakitnya belum sembuh, tapi sudah muncul yang namanya perang di Ukraina sehingga semuanya menjadi bertubi-tubi, menyulitkan semua negara. Bahkan hampir semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit,” tutur Jokowi.
Jokowi lantas mengaku bersyukur karena harga bensin di Indonesia masih murah di tengah melonjaknya harga bensin di sejumlah negara lain. Meski begitu, Jokowi mengklaim hal itu disebabkan oleh subsidi yang besar terhadap BBM di mana negara lain juga tidak akan kuat menahannya.
“Kita perlu bersyukur, alhamdulillah kalau bensin di negara lain sekarang harganya sudah 32 ribu, 31 ribu, tapi di Indonesia Pertalilte masih 7.650. Namun juga perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah sangat terlalu besar dari Rp170-an, sekarang sudah Rp502 triliun,” ungkap mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Baca juga : Saling Serang Fahri Hamzah Vs Elite KIB Soal Kabinet Jokowi Terganggu
“Negara mana pun tidak akan kuat bila menyangga subsidi sebesar itu. Tapi sekali lagi alhamdulillah kita masih kuat menahannya sampai sekarang, ini yang patut kita syukuri bersama-sama,” imbuh Jokowi.
Sekadar informasi, walaupun dana untuk subsidi ditambah, pada tahun ini Pemerintah tetap mampu menurunkan target penarikan utang cukup signifikan. Hal itu tampak dari defisit APBN yang tadinya diasumsikan 4,8% PDB, menjadi 3,9% PDB.
Mengutip CNBCIndonesia.com, penurunan defisit ditopang oleh tingginya penerimaan negara yang mencapai Rp2.436,9 triliun atau melebihi target (107,5%). Belanja pun mengalami peningkatan, yakni mencapai Rp3.169,1 triliun (102%).