TIKTAK.ID – Junta militer Myanmar menyerang Klinik klandestin hingga menyebabkan petugas medis di dalamnya menangis. Klinik itu tersembunyi di sebuah biara di Myanmar, sehingga aman bagi demonstran penentang kudeta militer yang terluka untuk datang dan mendapat perawatan.
Namun, kini junta militer telah menemukan lokasi tersebut.
Seorang pemuda dengan luka tembusan peluru di lehernya muncul di depan pintu. Darah segar yang keluar dari lehernya berceceran di mana-mana. Petugas medis berhamburan panik dan berusaha untuk menghentikan pendarahan.
Junta militer Myanmar telah menyatakan perang terhadap perawatan kesehatan dan dokter sendiri, yang merupakan penentang awal dan sengit kudeta militer pada Februari lalu. Junta militer tak segan-segan menangkap, menyerang dan membunuh pekerja medis, seperti yang dilansir dari The Associated Press, Rabu (7/7/21).
Bahkan Junta militer menjuluki mereka sebagai “musuh negara”. Akibatnya, petugas medis yang bergerak di bawah tanah di tengah pandemi global, sistem perawatan kesehatan negara yang sudah rapuh itu runtuh.
“Junta sengaja menargetkan seluruh sistem perawatan kesehatan sebagai senjata perang,” kata seorang dokter Yangon yang buron selama berbulan-bulan, dengan rekan-rekannya di sebuah klinik bawah tanah ditangkap selama penggerebekan. “Kami percaya bahwa merawat pasien, melakukan pekerjaan kemanusiaan kami, adalah pekerjaan moral…. Saya tidak berpikir bahwa tindakan itu akan dituduh sebagai kejahatan.”
Di dalam klinik hari itu, pemuda yang tertembak di tenggorokan itu terkapar. Kakaknya meratap. Satu menit kemudian, dia sudah meregang nyawa.
Salah satu mahasiswa kedokteran yang ada di klinik itu, dan namanya seperti beberapa petugas medis lainnya telah dirahasiakan untuk melindunginya dari pembalasan, mulai berkeringat dan menangis. Dia belum pernah melihat orang ditembak sebelumnya.
Sekarang dia juga dalam bahaya. Dua pengunjuk rasa memecahkan kaca jendela sehingga petugas medis bisa melarikan diri. “Kami sangat menyesal,” kata para perawat kepada pasien mereka.
Seorang dokter masih harus tetap tinggal karena harus menyelesaikan menjahit luka pasien. Yang lain melompat melalui jendela dan bersembunyi di kompleks apartemen terdekat selama berjam-jam. Beberapa merasa sangat ketakutan sehingga mereka tidak pernah kembali pulang ke rumah.
“Saya menangis setiap hari sejak hari itu,” kata mahasiswa kedokteran itu. “Saya tidak bisa tidur. Saya tidak bisa makan dengan baik.”