
TIKTAK.ID – Setelah didera demonstrasi selama beberapa pekan, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump akhirnya mengumumkan penandatanganan perintah eksekutif terkait RUU Reformasi Kepolisian, tulis Sputnik.
RUU itu bertujuan untuk mencegah terulangnya peristiwa seperti pembunuhan pria Afrika-Amerika George Floyd pada akhir Mei lalu dan untuk menjawab kritik meningkatnya penggunaan kekuatan oleh beberapa Departemen Kepolisian.
Sejumlah langkah yang diusulkan dalam RUU Trump itu adalah larangan penggunaan chokehold oleh polisi kecuali jika nyawa petugas dalam bahaya. Trump juga mengumumkan bahwa akan mengembangkan senjata baru yang canggih bagi polisi dan tidak mematikan ketika terjadi “interaksi” yang fatal.
RUU itu juga memperkenalkan dana hibah federal untuk departemen kepolisian yang menjunjung tinggi standar dalam mensertifikasi petugas mereka dan berinvestasi besar dalam pelatihan teknik de-eskalasi.
Trump berargumen bahwa alih-alih menyerah pada tuntutan “radikal” untuk menggunduli dan membongkar institusi kepolisian, Amerika malah akan mendukung “pria dan wanita pemberani dengan seragam warna biru” itu sambil menyelesaikan masalah saat ini.
“Kami akan memprioritaskan dana hibah federal dari Departemen Kehakiman ke Departemen Kepolisian [yang] mencari kredensial independen dan menyatakan bahwa mereka memenuhi standar tinggi dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu dengan standar tertinggi pada penggunaan kekuatan dan de-eskalasi,” kata Trump.
Terlepas dari ini, reformasi kepolisian mempromosikan ide untuk menciptakan basis data federal yang akan melacak sejarah pelecehan yang dilakukan setiap petugas polisi. Trump menjelaskan bahwa hal itu akan mencegah petugas bertindak kasar di antara Departemen Kepolisian dalam setiap insiden.
Sejalan dengan laporan media sebelumnya, reformasi Trump juga mendorong Departemen Kepolisian untuk menggunakan pekerja sosial sebagai responden bersama dalam beberapa kondisi, seperti dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Departemen yang menggunakan pekerja tersebut akan disubsidi lebih lanjut oleh Pemerintah setelah dilakukan reformasi.
Reformasi yang diusulkan Trump mengabaikan permintaan utama para demonstran Black Lives Matter untuk “membongkar” Departemen Kepolisian, namun sejalan dengan beberapa saran yang sebelumnya diajukan oleh anggota parlemen Demokrat.
Tuntutan reformasi polisi dipicu demonstrasi menentang kebrutalan polisi dan kelalaian terhadap kehidupan warga kulit hitam. Protes dipicu oleh kematian George Floyd, yang meninggal di tangan polisi Minneapolis yang menggunakan teknik chokehold.
Namun, kelompok Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa tindakan Trump tidak cukup signifikan.
“Sementara menganggap perintah itu sebagai beberapa langkah maju, merupakan tanggapan yang tidak memadai terhadap negara yang menuntut tindakan tegas dan berani,” kata Kepala Konferensi Kepemimpinan tentang Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia, Vanita Gupta, dalam sebuah pernyataan, tulis Reuters.
Sikap pesimis juga ditunjukkan oleh Partai Demokrat. Pemimpin Senat Demokrat, Chuck Schumer mengatakan dalam sebuah pernyataannya bahwa “Perintah eksekutif ini tidak akan memberikan perubahan bermakna dan akuntabilitas komprehensif di Departemen Kepolisian negara kita seperti yang dituntut oleh warga Amerika”.