TIKTAK.ID – Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menegur Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, mengenai kebijakan pemberhentian 51 pegawai lembaga antirasuah.
Seperti diketahui, 51 pegawai itu telah dipecat setelah dinyatakan gagal dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan dinyatakan tidak bisa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) karena tak memenuhi penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan tim asesor. Penilaian tersebut meliputi tiga aspek, yaitu kepribadian, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD ’45, NKRI, Pemerintah sah).
“Indonesia Corruption Watch mendesak Jokowi untuk memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK,” seperti dikutip dalam keterangan tertulis ICW, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (26/5/21).
ICW menilai Pimpinan KPK dan Kepala BKN telah melawan arahan Jokowi. Sebab, pada pekan lalu, Jokowi sempat menyampaikan bahwa TWK tidak bisa menjadi acuan untuk mencabut status pegawai KPK.
“Pernyataan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan terhadap perintah Presiden Joko Widodo,” seperti dikutip dalam keterangan tertulis ICW, Rabu (26/5/21).
Kemudian ICW menyebut keduanya hanya menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu semata. Padahal, jika mengacu pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN.
Tidak hanya itu, menurut perubahan UU KPK, terutama pada Pasal 3, KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi dua lembaga tersebut untuk mengeluarkan kebijakan administrasi yang berseberangan dengan pernyataan Presiden.
ICW lantas menganggap pemecatan 51 pegawai KPK berarti tidak menghiraukan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, MK telah mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak pegawai.
“Jika tes itu dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu dapat menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pula, harus dipahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain,” imbuhnya.