
TIKTAK.ID – Kabar seputar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang melarang umat Muslim untuk tidak memberikan ucapan selamat bagi mereka yang melakukan perayaan Natal menuai polemik. Uniknya imbauan tersebut tidak berlaku untuk Wakil Presiden, Ma’ruf Amin.
Sekretaris MUI Jawa Timur, Mochammad Yunus mengatakan seorang Muslim akidahnya akan rusak ketika ia mengucapkan selamat Natal.
“Ucapan Natal itu kan perayaan lahirnya anak Tuhan, karena itu masuk wilayah akidah. Ketika kita mengucapkan selamat kepada peringatan (natal) itu, sama saja kita memberi selamat atas lahirnya putra Tuhan,” ujar Yunus, Jumat (20/12/2019).
Dalam keterangannya Yunus melanjutkan, imbauan tersebut tidak berlaku untuk pemimpin negara, termasuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga menjabat sebagai Ketua Umum MUI.
“Nah kalau urusan itu, mungkin Pak Wapres punya pertimbangan sebagai pemimpin negara, sehingga diharuskan mengucapkan selamat Natal,” ujar Yunus.
Menyikapi Fatwa MUI Jatim tersebut, Direktur Lingkar Wajah Kemanusiaan (LAWAN Institute) Muhammad Mualimin, mengimbau Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur agar tidak bertindak menjadi ‘calo’ penghubung antara hamba dan Tuhan (wakil Tuhan).
Mualimin berpendapat, Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak membahas soal hukum mengucapkan Selamat Natal.
“(Fatwa) Itu hanya buatan ulama zaman modern dan bergulir tiap tahun. Dalam konsepsi ketauhidan di Islam, MUI tidak punya tempat, sebab ketuhanan adalah urusan seorang muslim (individu) dan Tuhannya (Allah). Jadi majelis ulama tidak pas bila berperan jadi calo ketuhanan,” ujar Mualimin sebagaimana dilansir dari Suarajatim.id, Senin (23/12/2019).
Menurut Mualimin, MUI sebagai lembaga yang berisi para tokoh agama, seharusnya mampu menjadi penyejuk. Bukan malah merusak persaudaraan anak bangsa atas nama akidah, apalagi sikap tersebut hanya pendapat segelintir ulama serta tidak memiliki dasar argumentasi yang sahih.
Senada dengan Mualimin, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan tidak ada masalah bagi umat Muslim mengucapkan selamat Natal bagi mereka yang merayakannya. Terlebih jika ucapan tersebut disampaikan dalam rangka untuk menghormati dan menjaga persaudaraan sebagai sesama warga negara.
Ketua Tanfidziah PBNU, Robikin Emhas mengatakan, dirinya sepakat dengan pendapat ulama besar asal Mesir, Syekh Yusuf Qaradhawi. Syekh Yusuf, menurut Robikin, menyatakan bahwa boleh atau tidaknya ucapan selamat Natal oleh umat Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya masing-masing.
“Kalau berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang Nasrani, maka tidak masalah. Indonesia (negara) kita ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan Natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa AS sebagai rasul,” ujar Robikin.
Robikin mengatakan, bahwa momentum Natal semestinya menjadi ajang untuk mempererat tali kebangsaan antar pemeluk agama.
Sementara itu, cendekiawan muda NU, Mohamad Guntur Romli berpendapat, larangan dari MUI Jatim itu mempermalukan umat Islam. Bahkan bukan saja dinilai memalukan, imbauan agar tidak mengucapkan selamat Natal tersebut menurut Guntur Romli kocak dan kekanak-kanakan.
“Sekretaris MUI Jatim, Pak Yunus ini mengeluarkan himbauan yang memalukan, Wapres dikecualikan karena masih Ketua Umum MUI, himbauan yang memalukan & lucu, kekanak-kanakan,” cuit Guntur Romli di akun Twitternya.
Menariknya, terkait ucapan Natal tersebut MUI pusat berbeda pendapatnya dengan MUI Jatim. MUI pusat tidak melarang umat Islam untuk menyampaikan ucapan selamat Natal.
Dikutip dari CNN Indonesia, Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Saadi mengatakan MUI pusat tidak melarang dan tidak juga menganjurkan ucapan selamat Natal. Sebab MUI secara resmi belum pernah membuat fatwa khusus berkenaan dengan hal tersebut.
“MUI Pusat sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya memberikan tahniah atau ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani yang merayakannya. Sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,” Ujar Zainut, Senin (23/12/2019).
Sebenarnya sikap “nyleneh” MUI Jatim tidak hanya terjadi pada kasus ini saja. Tercatat beberapa kali sikap dan pandangan MUI Jatim berbeda dengan MUI Pusat. Bukan saja berbeda dengan induknya, sikap nyleneh ini bahkan terkadang menimbulkan kegaduhan.
Seperti misalnya kasus imbauan MUI Jatim agar pejabat tidak menyebutkan salam semua agama pada November 2019 lalu yang sempat menuai pro-kotra. Kemudian tentang Syiah yang difatwakan sebagai ajaran sesat pada tahun 2012 sehingga memicu kontroversi dan konflik sosial berkelanjutan paska terjadinya penyerangan terhadap komunitas syiah Sampang, yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda.