
TIKTAK.ID – Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menolak kecaman internasional atas keputusannya untuk mengubah status museum Hagia Sophia di tenggara Istanbul menjadi sebuah masjid. Dia mengatakan keputusan itu mewakili keinginan negaranya untuk menggunakan “hak kedaulatannya”.
Di masa lalu, ia telah berulang kali menyerukan agar bangunan yang menakjubkan itu diubah menjadi masjid dan pada 2018, ia membacakan sebuah ayat Alquran di Hagia Sophia, tulis Al Jazeera.
“Mereka tidak mengambil langkah melawan Islamofobia di negara mereka sendiri … menyerang keinginan Turki untuk menggunakan hak-hak kedaulatannya,” kata Erdogan pada upacara yang ia hadiri melalui konferensi video pada Sabtu (11/7/20).
Hagia Sophia merupakan bangunan kolosal yang dibangun pada 1.500 tahun yang lalu sebagai katedral Kristen Ortodoks. Lalu diubah menjadi masjid setelah Ottoman menaklukkan Konstantinopel (sekarang Istanbul) pada 1453. Pemerintah sekuler Turki pada 1934 memutuskan untuk menjadikannya museum.
Erdogan pada Jumat lalu secara resmi mengubah bangunan itu kembali menjadi masjid dan menyatakan terbuka untuk ibadah bagi umat Islam. Keputusan itu diambil setelah beberapa jam sebelumnya pengadilan tinggi membatalkan keputusan 1934 yang mengubahnya menjadi museum. Dia mengatakan doa Muslim akan dimulai di Situs Warisan Dunia UNESCO pada 24 Juli nanti.
Dunia internasional mengutuk keputusan Presiden Turki tersebut. Yunani menyebutnya sebagai langkah provokasi, Perancis menyesalkan langkah Erdogan dan Amerika Serikat mengungkapkan kekecewaannya.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Alexander Grushko pada hari Sabtu mengatakan Moskow menyesali keputusan tersebut.
“Katedral itu berada di wilayah Turki, tetapi tanpa perlu mempertanyakan, ini merupakan warisan bagi semua orang,” katanya kepada kantor berita Interfax.
Dewan Gereja Sedunia menulis surat kepada Erdogan untuk mengungkapkan “kesedihan dan kegelisahan” atas langkah itu dan mendesaknya untuk membatalkan keputusannya.
Sebagai museum Warisan Dunia, “Hagia Sophia telah menjadi tempat keterbukaan, pertemuan, dan inspirasi bagi orang-orang dari semua bangsa”, kata Sekretaris Jenderal sementara, Ioan Sauca dalam surat yang dirilis pada Sabtu lalu.
Sauca mengatakan status museum telah menjadi “ekspresi yang kuat” dari komitmen Turki terhadap inklusi dan sekularisme.
Uskup Hilarion yang berpengaruh, yang mengepalai Departemen Gereja Ortodoks Rusia untuk hubungan gereja eksternal, juga menyatakan kesedihannya.
“Ini merupakan pukulan bagi Kekristenan global … Bagi kami [Hagia Sophia] tetap merupakan katedral yang didedikasikan bagi Juru Selamat,” katanya kepada TV Rossiya24 pada Jumat malam.
Tetapi Direktur Ankara dari German Marshall Fund, Ozgur Unluhisarcikli mengatakan kepada AFP, langkah itu akan memenangkan hati dan pikiran masyarakat di dalam negeri karena kebanyakan orang Turki “akan mendukung keputusan seperti itu sebagai sentimen keagamaan atau nasionalis”.
“Ini adalah debat yang tidak bisa dihilangkan oleh Presiden Erdogan dan oposisi tidak bisa menang. Faktanya, masalah ini juga berpotensi untuk memecah belah partai-partai oposisi.”
Sekutu nasionalis Erdogan, Devlet Bahceli, menyambut keputusan tersebut, dengan mengatakan bahwa pembukaan kembali Hagia Sophia untuk ibadah bagi umat Muslim “telah lama menjadi keinginan kita”.
Pada 2013 Erdogan juga membuat rencana serupa untuk mengubah museum Hagia Sophia menjadi masjid bersamaan dengan rencana mengubah lahan hijau di taman Gezi yang akan diubah menjadi mall. Namun pada saat itu keputusan Erdogan mendapat protes keras dari masyarakat. Orang-orang berbondong-bondong berdemonstrasi untuk menolak rencana itu. Ujungnya, Erdogan menyerah dan membatalkan rencananya.