
TIKTAK.ID– Dominasi pria di dunia kerja bukan hisapan jempol belaka, setidaknya itu yang disuarakan wanita di seluruh Swiss ketika melakukan protes nasional pada Minggu (14/6/20). Mereka menuntut diperlakukan sama dan diakhirinya kekerasan kepada perempuan oleh kaum pria, tulis Reuters.
Pada tahun lalu, setengah juta orang melakukan protes terkait catatan buruk negara tentang hak-hak perempuan. Namun pada tahun ini, panitia menyebut pemogokan lebih lebih sedikit karena ada batasan akbiat pandemi virus Corona.
“Bagi saya ini emosional. Karena saya tidak hanya berteriak untuk diri sendiri, tetapi saya juga berteriak untuk saudara dan saudari saya, saya berteriak untuk semua anak lain yang kehilangan ibu atau ayah, dan saya juga berteriak untuk ibu saya, yang akan berteriak jika dia masih di sini,” kata Roxanne Errico, seorang siswa berusia 19 tahun yang mengatakan bahwa ibunya dibunuh oleh pacarnya yang kejam.
Warga Jenewa lainnya, Rose-Angela Gramoni, mengatakan bahwa ia telah bergabung dengan semua pemogokan wanita sejak 1991.
“Sekarang saya bisa mati dengan tenang, generasi berikutnya ada di sini untuk mengambil alih. Tetapi untuk sementara, saya sangat sedih. Saya pikir kami berjuang untuk banyak hal, tetapi kami belum menyelesaikan pekerjaan dan tidak ada orang di sini yang menyelesaikannya,” kata Gramoni, yang berusia 70-an.
Swiss memiliki kualitas hidup yang tinggi tetapi tertinggal dari negara maju lainnya dalam hal upah perempuan dan kesetaraan di tempat kerja. Perempuan berpenghasilan kira-kira seperlima lebih rendah dari laki-laki. Namun, itu lebih baik dari 30 tahun yang lalu ketika penghasilan perempuan sekitar sepertiga lebih sedikit dari laki-laki. Dan lebih buruk daripada tahun 2000, menurut data Pemerintah.
Ribuan demonstran di Jenewa dan kota-kota Swiss lainnya berteriak pada pukul 3:24 sore hari. Itu adalah waktu bagi para perempuan yang secara teknis memulai kerja mereka tanpa upah.
Mereka juga menggelar flash mob dan mengheningkan cipta selama satu menit bagi para wanita yang terbunuh oleh suami atau pacar mereka.
Demonstran mengecam kekerasan terhadap perempuan dan menyerukan pengakuan atas pekerjaan yang sering tidak dibayar untuk merawat keluarga dan kerabat.
“Saya ingin berjalan di malam hari mengenakan rok, celana pendek atau legging tanpa dihina, tanpa takut diperkosa,” kata warga Jenewa Vani Niuti, 20 tahun.