Evelyn Matthei, Wali Kota distrik Providencia yang kaya di Santiago, mengatakan bahwa permintaan bantuan ke kantor lokal yang menyediakan bantuan hukum, psikologis dan sosial melonjak 500 persen di masa lockdown.
Namun, menurut kantor jaksa nasional laporan resmi tentang kekerasan dalam rumah tangga, turun 40 persen pada paruh pertama April di Chili. Kondisi itu menurut PBB dan pejabat setempat adalah karena wanita memiliki gerak terbatas untuk melapor.
“Ini mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa ada kekerasan di dalam rumah tetapi bahwa perempuan tidak bisa keluar, mereka tidak berani keluar,” kata Matthei.
Sedangkan di negara bagian Sao Paulo, Brazil, yang paling parah terpukul oleh pandemi dan memberlakukan langkah-langkah isolasi, terjadi lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan 45 persen pada bulan lalu.
Di Meksiko, data resmi keluhan kepada polisi tentang kekerasan dalam rumah tangga meningkat sekitar seperempat persen pada bulan Maret dibanding tahun sebelumnya.
Baca juga: Malapetaka Kian Hantui Amerika, 96 Persen Narapidananya Positif Covid-19 Tanpa Gejala
“Sejak lockdown, ada peningkatan laporan kekerasan dalam rumah tangga, banyak di antaranya kekerasan psikologis,” kata Direktur Institut Kota untuk Perempuan Veracruz, Blanca Aquino. Veracruz merupakan negara bagian Meksiko dengan tingkat pembunuhan wanita tertinggi di negara itu.
Di Kolombia, menurut catatan Pemerintah, panggilan saluran telepon nasional untuk kekerasan rumah tangga sehari-hari naik hampir 130 persen selama 18 hari pertama lockdown. Sementara saat ini lockdown diperpanjang hingga 11 Mei.
Marta Dillon, seorang jurnalis Argentina dan salah satu pendiri gerakan perempuan “Ni Una Menos”, mengatakan para wanita di seluruh dunia ingin bersatu untuk mengatasi masalah ini.
“Kekerasan pria telah meningkat ketika lockdown, isolasi sosial … Kami kaum feminis mengatakan hal ini di Italia, di Turki, di Amerika Serikat. Kami sedang menyusun dokumen di antara kami sendiri yang akan menjadi manifesto.”