TIKTAK.ID – Belakangan ini beredar susunan daftar pegawai dengan indikator “merah” terkait penilaian asesmen dalam peralihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Susunan daftar tersebut pun menunjukkan total sembilan indikator merah. Hal itu menjadi acuan 51 dari 75 pegawai tak lulus asesmen yang dinilai tidak bisa dibina alias tak lagi bisa bergabung dengan lembaga antirasuah.
Perlu diketahui, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana, sempat menyinggung sejumlah indikator itu melalui jumpa pers terkait 51 pegawai KPK yang dinilai merah, serta 24 pegawai lainnya yang berkesempatan dibina untuk menjadi ASN.
Saat itu, Bima mengatakan bahwa 51 pegawai yang tidak lulus asesmen tak memenuhi penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan tim asesor. Ia menjelaskan, penilaian meliputi tiga aspek, yaitu kepribadian, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD ’45, NKRI, Pemerintah sah). Ia menilai dari total 22 indikator tersebut, sembilan indikator pada PUNP merupakan harga mati.
“Bagi mereka yang aspek PUNP bersih, meski aspek pribadi dan pengaruhnya terindikasi negatif, itu masih bisa dilakukan proses melalui Diklat,” ujar Bima, Selasa (25/5/21), seperti dilansir CNNIndonesia.com.
Dalam sembilan indikator tersebut, pertama, menyetujui perubahan Pancasila sebagai Dasar Negara, atau mendukung ideologi lain, liberalisme, khilafah, kapitalisme, komunisme/sosialisme, dan separatisme. Indikator kedua, tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah dengan pembubaran HTI/FPI, atau kelompok radikal, atau kelompok pendukung teroris.
Ketiga, menolak atau tidak setuju dengan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Keempat, mengakui sebagai kelompok Taliban dan tidak ada yang ditakuti kecuali Allah. Siapa pun yang menghalangi akan dilawan, bahkan bila perlu akan bergerak tanpa harus melalui jalur prosedur seperti dalam penyadapan dan penggeledahan.
Kelima, mengklaim di dalam KPK ada kelompok Taliban yang dalam menjalankan tugas hanya takut kepada Allah dan kebenaran. Keenam, mengaku tidak setuju dengan pimpinan KPK yang selalu mengintervensi setiap penyidikan, dan tidak setuju pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Ketujuh, menyatakan sering mengabaikan tugas dengan mengabaikan prosedur (karena tidak percaya pada prosedur).
Kedelapan, akan memilih keluar dari KPK jika memang harus dipaksa mengikuti keinginan pimpinan atau Pemerintah atau intervensi. Kesembilan atau terakhir, memegang prinsip siapa pun tidak bisa dikendalikan bila tidak sejalan dengan keyakinannya, dan akan menentang jika diintervensi oleh pemimpin, Dewan Pengawas, atau Pemerintah.