TIKTAK.ID – Cendekiawan senior, Ahmad Syafi’i Maarif meminta Pemerintah tidak menggunakan Buzzer untuk menyikapi lawan politiknya. Syafi’i Maarif menyarankan Pemerintah dan oposisi sebaiknya membangun budaya politik yang lebih arif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Dalam situasi yang sangat berat ini antara Pemerintah dan pihak sebelah semestinya mampu membangun budaya politik yang lebih arif, saling berbagi, sekalipun sikap kritikal tetap dipelihara. Tidak perlu main ‘Buzzer-buzzeran’ yang bisa menambah panasnya situasi,” kata Buya Syafi’i Maarif kepada wartawan di Jakarta, Rabu (10/2/21)
Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam satu kesempatan mengajak masyarakat aktif menyampaikan masukan dan kritik untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Baca juga : Pengamat Soal Isu Kudeta Demokrat: Playing Victim, Sok Dizalimi
Ahmad Syafii Maarif merespons baik langkah Pemerintah yang tetap memberi ruang bagi lawan politiknya untuk menyampaikan kritik. Namun, Buya menegaskan untuk memelihara budaya kritis tidak perlu ada Buzzer.
“Pihak Pemerintah sebagai pengendali kekuasaan juga harus terus terang, jika memang telah melakukan kekeliruan dalam bidang apa pun,” ujarnya.
Sebelumnya, senada dengan Buya Syafi’i, YLBHI juga mengeluhkan soal adanya Buzzer dalam setiap kritik yang dilakukan terhadap Pemerintah. Meskipun kerap dibantah, Buzzer bukan dari pihak Pemerintah. YLBHI mengatakan, sulit untuk menepis Buzzer tidak ada relasi dengan Pemerintah. Apalagi setelah adanya pengakuan terbuka dari para buzzer itu sendiri.
Baca juga : Anies Hapus Program Normalisasi Sungai DKI Cetusan Jokowi
“Kan Pemerintah selalu bilang (Buzzer -red) itu bukan dari mereka.Tapi kalau kita lihat sulit untuk menepis tidak adanya relasi (dengan Pemerintah -red), baik itu relasi dari mereka yang mendukung Pak Jokowi ketika mencalonkan diri atau dari yang lain-lain,” ujar Asfin.
Asfin lebih lanjut mengkritisi soal keberadaan Buzzer yang kebal dari jerat Undang-Undang ITE dalam menyatakan pendapat. Berbeda dengan oposisi atau siapa pun yang melakukan kritik kepada Pemerintah di media sosial.
“Salah satu indikasi bahwa ada diskriminasi penegakan hukum kalau yang melakukan kesalahan adalah oposisi atau orang yang kritis meskipun sudah di-take down postingannya, minta maaf tetap dikriminalisasi, tetap dikriminalkan. Akan tetapi kalau sebaliknya influencer yang sering membantu narasi-narasi Pemerintah, dia seperti kebal hukum,” tegas Asfin.