TIKTAK.ID – Umumnya, junk food atau makanan rendah gizi sering dikaitkan dengan risiko kesehatan fisik. Namun ternyata konsumsi makanan rendah gizi juga berhubungan erat dengan kesehatan mental.
Sebuah penelitian yang terbit dalam jurnal Molecular Psychiatry pada 2018 mengungkapkan bahwa junk food juga disebut terkait dengan risiko depresi. Temuan tersebut didapatkan oleh peneliti dari Inggris, Spanyol, dan Australia, usai meneliti sebanyak 41 studi tentang hubungan diet dan depresi. Pasalnya, jenis makanan ini mengandung banyak zat yang pro-inflamasi.
“Pola makan yang pro-inflamasi dapat memicu peradangan sistemik, dan hal ini dapat secara langsung meningkatkan risiko depresi,” ujar Dr Camille Lassale, penulis utama penelitian ini dikutip dari The Guardian, seperti dilansir Kompas.com.
Kemudian peneliti dari University College London itu mengatakan pola makan yang buruk bisa meningkatkan risiko depresi secara signifikan. Sebab menurut analisis, makanan yang mengandung banyak lemak, gula, atau terlalu lama dimasak (dalam hal ini junk food), dapat menyebabkan peradangan, bukan hanya di usus tetapi di seluruh tubuh, atau yang dikenal sebagai peradangan sistemik.
“Sifat kimia dalam usus sangat mirip dengan kimia di otak, jadi tidak mengherankan bila hal-hal yang memengaruhi usus juga dapat memengaruhi otak,” terang Dr Cosmo Hallstrom, ahli depresi dari Royal College of Psychiatrists.
Biasanya peradangan itu dipicu oleh pola hidup yang buruk, seperti merokok, polusi, kegemukan, dan kurang olahraga.
“Peradangan kronis dapat memengaruhi kesehatan mental dengan mengangkut molekul pro-inflamasi ke otak. Hal itu juga bisa memengaruhi molekul -neurotransmitter- yang bertanggung jawab untuk regulasi suasana hati,” terang Lassale.
Namun para peneliti mengingatkan hubungan antara pola makan buruk dan depresi merupakan kausal dan bukan hanya sebuah asosiasi. Sebab, mereka tidak menemukan orang-orang yang depresi punya kecenderungan makan makanan rendah gizi.
“Pola makan buruk dapat meningkatkan risiko depresi karena ini adalah hasil penelitian longitudinal yang tidak melibatkan orang dengan depresi pada awal penelitian,” tutur Lassale.
“Oleh sebab itu, penelitian ini juga melihat bagaimana pola makan pada dasarnya berhubungan dengan kasus depresi baru,” imbuhnya.