TIKTAK.ID – Saat mengonsumsi makanan, sebagian orang mulai menyadari pentingnya mengetahui: berapa seharusnya takaran ideal atau jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh. Namun terkadang, bila setiap kali ingin makan lantas merasa harus menghitung terlebih dahulu kalori yang mesti diserap tubuh, bisa jadi akan mengganggu nafsu atau selera makan.
Lalu, kapan sebenarnya awal mula munculnya perhatian terhadap kalori yang terkonsumsi dalam tubuh?
Sebagaimana dilansir CNN Indonesia mengutip dari Refinery29 bahwa istilah “kalori” pertama kali dipakai oleh dokter dan ahli kimia Prancis, Nicolas Clément pada 1820-an saat menyampaikan kuliah kepada murid-muridnya di Paris seputar mesin yang panas.
Istilah ini sekadar mentransfer definisinya guna mengukur energi pada makanan secara khusus saat diperkenalkan di Amerika tahun 1890-an oleh Wilbur Olin Atwater yang menapaki penelitian mendalam seputar membakar lantas mengukur kandungan kalori pada lebih dari 500 makanan.
Penelitian tersebut mengantarkan Atwater mampu menentukan jumlah rata-rata kalori dalam tiga sumber energi utama pada makanan: lemak, karbohidrat, dan protein. Dia mendapati bahwa lemak memuat sebesar 9 kalori per gram dan karbohidrat serta protein sebesar 4 kalori per gram. Lantas, metode 4-9-4, atau sistem Atwater, masih digunakan sebagai cara menentukan nilai kalori pada label makanan di masa sekarang.
Istilah “kalori” kian menarik perhatian orang semenjak dokter dan penulis Amerika Lulu Hunt Peters (yang dijuluki “Ratu Kalori”) mengarang buku diet terlaris berjudul “Diet and Health: With Key to the Calories” tahun 1918 seputar penghitungan kalori, serta diet secara lebih umum.
Semenjak itulah, kepopuleran konsumsi kalori eksplisit (dan pembatasan) sebagai langkah untuk menurunkan berat badan serta menjadi “lebih sehat” sudah surut. Pada tahun 1998, berkembang penggunaannya pada bagian kemasan makanan di Inggris.
Itulah yang mengawali tampilnya kandungan nutrisi sehingga kita dapat memilih dan memilah porsi yang tepat terhadap konsumsi pasta atau sebatang cokelat mengacu kalori yang tercantum pada kemasan sehingga menjadi kebiasaan baru.
Direktur Harley Therapy, dokter Sheri Jacobson menyampaikan kepada R29 bahwa sebagai manusia kita menghendaki segala sesuatu menjadi sesederhana mungkin. Misalnya, seperti aturan 10.000 langkah, terkesan menjadi “mudah’ bagi kita dalam menghitung kalori.
“Pikiran kita cenderung ke arah pendangan reduktif: semakin sederhana otak kita, semakin baik. Jadi kalau kita bisa mengurangi aturan diet menjadi sebuah pepatah, mudah bagi kita untuk mematuhinya,” terangnya.
Aspek numerik (angka-angka) utamanya dalam menghasilkan perhitungan yang imbang: menjadikannya konkret serta terukur, berbeda halnya dengan perasaan lapar atau kenyang yang jauh lebih amorf (acak, tak beraturan).