TIKTAK.ID – Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Zainudin Amali telah menyatakan mundur. Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantas menunjuk Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy sebagai Pelaksana Tugas Menpora.
Namun tidak hanya pos Menpora, ada beberapa posisi wakil menteri (Wamen) yang kosong. Dengan waktu jabatan yang hanya tersisa hingga Oktober 2024, masihkah Jokowi perlu melakukan reshuffle Kabinet?
“Kalau Presiden Jokowi ini sebenarnya sulit ditebak langkah politiknya, hanya Jokowi yang tahu. Misalnya kalau bising atau menekan atau ada yang intervensi atau mendesak-desak, enggak bakal terjadi reshuffle, seperti itu faktanya. Kita kena prank semua kemarin, sudah dipanggil ke Istana, reshuffle Rabu Pon ternyata tidak terjadi,” ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, Rabu (15/3/23), seperti dilansir Sindonews.com.
Baca juga : Anies Bakal Safari Keliling Jawa Timur, Bukan Kampanye Capres?
Menurut Pangi, reshuffle justru terjadi jika Jokowi merasa tidak ada tekanan, intervensi, dan kehebohan di media massa.
“Malah justru ada potensi terjadi reshuffle, tidak diduga-duga. Jika tidak ada intervensi atau tekan menekan, malah faktanya terjadi reshuffle,” imbuh dosen Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah tersebut.
Pangi menilai reshuffle sebetulnya sudah tidak relevan, dengan sisa waktu sekitar 1 tahun lebih. Apalagi, kata Pangi, tidak ada jaminan menteri baru bakal mampu beradaptasi dengan cepat.
Baca juga : Sentil Isu Tunda Pemilu Saat Orasi di Senayan, AHY: Apa Iya Ada PLT Presiden?
“Bukannya lebih baik, justru bisa makin buruk karena harus memulai dari nol lagi, harus improvisasi lagi. Jelas merusak iklim bekerja di kementerian itu karena merasa lebih tahu, lebih paham. Padahal, boleh jadi dia menjadi kelinci percobaan,” ucap Pangi.
Pangi melanjutkan, reshuffle juga tidak lagi relevan karena kepercayaan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi sudah 60-70 persen. Dia menyatakan pencapaian tersebut memiliki korelasi linear terhadap kinerja, namun ia tak yakin reshuffle beririsan dengan irisan kinerja. Pangi menegaskan bahwa reshuffle berbasiskan letupan sharing power atau DNA politik, bukan reshuffle berbasiskan pada kinerja menteri.
“Maka sepanjang itu pula reshuffle tidak ada plusnya. Justru lebih banyak konsekuensi negatif atau minusnya. Reshuffle berkali-kali, tapi dapat merusak citra dan wibawa presiden itu sendiri. Reshuffle sudah mulai kehilangan arah, intensitasnya bukan perbaikan pada kinerja tapi bagi-bagi kue kekuasaan menjelang langser Presiden Jokowi pada periode kedua,” jelas Pangi.