TIKTAK.ID – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti membocorkan siapa saja yang menjadi rujukan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan ketika memutuskan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), baik di awal, transisi, rem darurat, sampai transisi jilid II.
Widyastuti mengatakan, setiap Anies memutuskan kebijakan untuk DKI, semua didasari oleh masukan dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dari Pemerintah Pusat. Kemudian terdapat pula masukan dari akademisi, dalam hal ini Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), dan juga kondisi lapangan yang dilihat langsung oleh para Wali Kota di Provinsi DKI Jakarta.
“Kajian ini dilakukan seminggu sekali. Jadi, ketika Bapak Gubernur memutuskan intervensi itu mendengarkan dari berbagai pihak termasuk asupan kajian ilmiah. Sebab, kita melihat dengan kekuatan data menjadi penting,” ujar Widyastuti melalui Webinar Proyeksi Covid-19 dan Evaluasi PSBB Bappenas, seperti dilansir Detik.com, Jumat (23/10/20).
Baca juga : Sesalkan Lahan Pertanian jadi Real Estate, Prabowo Subianto: Apa Kita Bisa Makan Semen dan Beton?
Ia melanjutkan, terutama ketika Anies menarik rem darurat PSBB pada 9 September lalu dan mulai berlaku di 14 September. Ia pun memastikan bahwa hal itu juga didasari data dan masukan berbagai pihak. Adapun data utama yang disoroti Anies yakni jumlah ketersediaan ranjang untuk isolasi pasien Covid-19 yang semakin menipis.
“Ketika PSBB diketatkan lagi, itu memang karena kondisi pemanfaatan tempat tidur atau isolasi kita, baik isolasi yang berbasis RS atau non-RS, sudah mengalami kondisi yang luar biasa. Berdasarkan asupan dari institusi pendidikan, dan sebagainya, maka diputuskan PSBB diperketat,” ucapnya.
Widyastuti menyatakan ketika Anies menerapkan PSBB Transisi Jilid I yakni 5 Juni 2020 lalu, dan PSBB Transisi Jilid II pada 12 Oktober lalu, hal itu juga didasari masukan berbagai pihak. Ia pun memastikan, setiap memasuki masa transisi, Pemprov DKI semakin memperbanyak kapasitas Testing, Tracing, dan Treat/isolasi (3T) pada suspect/pasien Covid-19.
Baca juga : Survei IPR Soal Kinerja Kabinet Jokowi-Ma’ruf: Kepuasan Publik di Bawah 50 persen, Prabowo Paling Tinggi
“Ketika kita berani untuk memutuskan PSBB mulai dilonggarkan, tentu kami juga harus menambah kekuatan 3T. Tidak mungkin kita berani melonggarkan suatu pengetatan tanpa menambah 3T. Artinya ketika PSBB DKI pertama diberlakukan, kemudian transisi dilakukan, hal itu juga kita barengi dengan kapasitas testing, lacak, dan isolasi, di mana DKI di awal baru 8 RS, lalu menjadi 30 RS, dan 68 RS,” terang Widyastuti.