TIKTAK.ID – Keputusan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan sering menuai kontroversi. Mulai dari penghentian proyek reklamasi di Teluk Jakarta, hingga yang terbaru revitalisasi kawasan Monumen Nasional (Monas) yang dikritik banyak pihak.
Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai Anies memang terkesan tergopoh-gopoh dalam memimpin DKI Jakarta. Menurutnya, hal itu akibat beberapa faktor.
Pertama, kata Wasisto, sejak awal diusung Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di Pilkada DKI Jakarta, Anies dan Sandiaga Uno tidak difavoritkan. Ia menyatakan elektabilitas Anies dan Sandi semula kalah dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat.
Namun Anies dan Sandi bisa terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur. Meski demikian, menurut Wasisto, Anies hanya ditempatkan sebagai kontestan elektoral dadakan yang tujuannya hanya mereduksi popularitas Ahok ketika itu.
“Karena sejak awal lebih kuat unsur politik praktisnya. Maka yang terjadi Anies juga ‘kaget’ ketika menang dan terpilih jadi gubernur,” ujar Wasisto seperti dilansir CNNIndonesia.com.
Wasisto mengatakan Anies juga bukan tipikal pemimpin pengambil risiko, namun lebih pada seorang yang hanya punya ide atau gagasan. Ia menyatakan Anies terkadang antimainstream, yang tak sesuai dengan kondisi lapangan, sehingga seakan tergopoh-gopoh merealisasikan ide.
Wasisto melanjutkan, faktor lainnya adalah Anies seperti memiliki sindrom inferior ketika dibandingkan dengan Ahok yang dianggap banyak pihak “berhasil” saat memimpin Jakarta. Sindrom inferior itu menurutnya terlihat dari Anies yang kerap terbentur sana-sini dan gagap dalam lobi-lobi sehingga dia sulit untuk mengeksekusi kebijakan maupun programnya.
“Dalam konteks ini, Anies seperti limbung untuk mengeksekusi kebijakan dan negosiasi dengan para pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal kebijakan,” kata Wasisto.
Ia menambahkan, hal ini semakin diperburuk dengan kondisi Anies tak punya partai. Anies bukan kader Gerindra dan PKS yang mengusungnya di Pilkada, meski selama ini dua partai itu kerap membela Anies.
Namun Gerindra dan PKS dianggap bukan sebagai penyokong utama. Kursi dua parpol itu juga bila digabungkan bukan mayoritas di DPRD, yakni 35 dari 106 kursi di DPRD.
Tidak hanya itu, Wasisto mengungkapkan Sandi yang mundur dari wakil gubernur Jakarta karena mengikuti Pilpres 2019, turut mempengaruhi kinerja Anies. Ia menyebut ketika masih ada Sandi, progam-program kampanye Anies sempat jalan. Namun ketika Sandiaga sibuk urusan Pilpres dan mundur dari wagub, Anies sepertinya “kedodoran” dalam kinerjanya.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin berpendapat Anies perlu membuka komunikasi dengan partai politik pemilik kursi di DPRD DKI. Ia menyatakan komunikasi itu penting dilakukan Anies agar program kerja yang direncanakan bisa diterima dan akhirnya dapat dieksekusi.
“Hanya dengan itulah kebijakan-kebijakan Anies akan mudah diterima dan agar tak disalahkan terus oleh DPRD,” ucap Ujang.
Ia memaparkan banyak orang partai yang tak suka dengan Anies dan tak sedikit pula yang ingin menjatuhkannya. Terlebih Anies dikabarkan sebagai calon presiden potensial pada 2024 mendatang. Akibatnya, sedikit saja Anies melakukan kesalahan dalam mengeluarkan kebijakan, maka akan serta-merta langsung diserang secara rombongan.