TIKTAK.ID – Gugatan masyarakat sipil terhadap ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold diketahui terus bermunculan. Kali ini, punggawa Museum Rekor Indonesia (MURI), Jaya Suprana, ikut melayangkan gugatan terhadap ketentuan dalam UU Pemilu tersebut.
Berdasarkan laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK), Jaya Suprana menggugat Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang presidential threshold. Jaya mengajukan permohonan lantaran menganggap UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
“Menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat,” terang Jaya, seperti dikutip Sindonews.com dari laman resmi MK, Jumat (21/1/22).
Baca juga : Muhaimin Iskandar Klaim Diperintah para Kiai Maju Pilpres 2024
Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan oleh Jaya agar dihapus itu menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Jaya yang menggugat tanpa didampingi kuasa hukumnya, mengatakan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden tidak relevan di Pemilu serentak 2024. Jaya menjelaskan, landasan pencalonan yang disandarkan pada perolehan kursi DPR hasil Pemilu sebelumnya akan menjadi tidak kredibel.
“Dengan penyelenggaraan Pemilu secara serentak 2024 maka mutatis mutandis pemberlakuan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) jadi tak relevan lagi. Sebab, praktis basis suara yang digunakan dalam memenuhi syarat dukungan calon presiden dan calon wakil presiden diperoleh dari pemilih yang telah meninggal dunia,” terang Jaya.
Baca juga : Begini Respons Balik Fahri Hamzah ke Ahmad Basarah PDIP Soal Usulan Pembubaran MPR
Di sisi lain, MK mengumumkan membuka kemungkinan mengubah presidential threshold dari semula 20 persen menjadi 0 persen. Meski begitu, syaratnya tidak mudah, yakni pemohon harus mampu meyakinkan MK.
MK menyampaikan hal itu dalam sidang judicial review Pasal 222 UU Pemilu dengan pemohon tiga anggota DPD RI, yaitu Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris. Hakim konstitusi Manatan Situmpul memaparkan, sudah ada 15 permohonan serupa yang semua permohonannya tak membuahkan hasil. Lantas Manahan meminta agar Tamsil Linrung membuat tabel dari putusan-putusan yang pernah diputus MK.