TIKTAK.ID – Kelompok militan bersenjata dikabarkan menyerang pangkalan militer di Niger Barat dan menewaskan setidaknya 73 tentara Nigeria. Sementara 12 tentara lainnya dikabarkan terluka. Serangan ini disebut sebagai serangan paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir, seperti yang dilaporkan BBC, Kamis (12/12/19).
Belum ada kelompok yang menyatakan bertanggung jawab atas serangan ini. Namun kelompok militan yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda dan Daesh telah melakukan sejumlah serangan mematikan di wilayah Sahel tahun ini. Meskipun di wilayah itu ada ribuan pasukan regional dan asing.
Sementara itu, analis keamanan mengatakan pemberontakan di Niger kian meningkat hingga pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Menteri Pertahanan Niger, Issoufou Katambe, mengatakan telah menetralisir sejumlah besar teroris. “Sejumlah besar teroris telah ‘dinetralkan’,” katanya.
Baca juga: Houthi Klaim Tembak Jatuh Drone Amerika
Ia juga mengatakan saat ini ada pertempuran sengit dengan ratusan militan di Inat, dekat perbatasan dengan Mali.
Serangan mematikan kelompok militan ini terjadi beberapa hari sebelum pertemuan puncak Presiden Prancis Emmanuel Macron dan lima pemimpin Afrika Barat yang rencananya akan dilakukan di Paris untuk membahas keamanan di wilayah Afrika Barat.
Namun dengan adanya serangan ini, Macron dan Presiden Niger Mahamadou Issoufou mengatakan akan menunda pertemuan itu ke awal tahun depan.
Sebelumnya, Pemerintah Niger meminta perpanjangan tiga bulan ke keadaan darurat, yang diumumkan dua tahun lalu. Saat ini tentara Niger sedang berjuang menahan penyebaran kelompok-kelompok bersenjata.
Baca juga: Rakyat India Protes Aturan Baru ‘Nasionalisme Hindu’ ala Modi yang Dicap Mirip Nazi
Beberapa minggu terakhir ini sejumlah serangan gencar dan semakin berani dilakukan oleh kelomok militan yang mendukung kelompok Daesh atau Negara Islam di wilayah dekat perbatasan dengan Mali.
Niger adalah bagian dari gugus tugas lima negara yang dikenal sebagai G5, yang dibentuk pada 2014 dengan anggota Burkina Faso, Mali, Mauritania, dan Chad. G5 dibentuk bertujuan untuk memerangi kelompok militan yang mendukung Negara Islam dan Al-Qaeda. Sedangkan tentara Prancis, dikerahkan di Sahel untuk mendukung upaya ini.
Kekerasan di wilayan ini berawal ketika pejuang bersenjata memberontak di Mali utara pada 2012. Konflik kemudian menyebar ke pusat Mali dan tetangga negara itu Burkina Faso dan Niger. Peperangan terus berlanjut, meskipun 4.500 tentara Prancis dikerahkan ke wilayah itu sebagai bagian dari Operasi Barkhane untuk membantu pasukan lokal.