TIKTAK.ID – Wakil Ketua (Waket) Komisi III DPR, Ahmad Sahroni memberikan saran agar persidangan dengan terdakwa Muhammad Rizieq Shihab kembali dilangsungkan secara virtual atau daring.
Sahroni menyampaikan hal tersebut di Jakarta, Jumat (9/4/21), lantaran saat sidang berlangsung, massa pendukung Rizieq melakukan tindakan ricuh di luar gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Polisi kemudian menindak dengan mengamankan beberapa simpatisan Rizieq yang melakukan provokasi. Sebagian orang yang memaksa masuk ke gedung pengadilan terlibat perdebatan dengan polisi, hingga kerumunan pun tidak dapat terhindarkan.
“Keputusan awal untuk mengadakan sidang secara online pasti telah mempertimbangkan hal-hal seperti ini. Dan nyatanya kejadian,” sebut Ahmad Sahroni.
Sidang kasus Rizieq memang pernah berlangsung secara virtual guna menghindari kerumunan di tengah potensi terpapar virus Covid-19. Namun, kubu Rizieq keberatan dan majelis hakim lantas membolehkan Rizieq serta kuasa hukumnya hadir sidang tatap muka.
Dengan demikian, Rizieq secara fisik hadir di ruang pengadilan.
“Tapi ternyata memang berakhir rusuh, sehingga saya rasa tak ada lagi alasan menggelar sidang secara online,” jelas Sahroni.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi menyayangkan majelis hakim yang mengizinkan permintaan Rizieq untuk sidang secara tatap muka.
Bagi Islah, saat massa kemudian berkerumun, maka alat kontrolnya bukan lagi FPI. Lantaran organisasinya telah dibubarkan Pemerintah. Lalu, garis komando mantan FPI telah memudar.
“Nah sekarang jika begini, kita mengajukan pertanggungjawaban ke siapa, pada ujungnya kembali lagi polisi yang disalahkan lantaran dianggap mungkin tak mampu mengendalikan massa dan sebagainya,” terangnya.
Islah mengklaim semula sudah curiga terhadap permintaan sidang tatap muka untuk memicu pengerahan kekuatan massa guna menekan keputusan hakim.
“Agar hakim terintimidasi, ini kan telah terbukti saat sidang Ahok. Mereka hendak mengulangi lagi pada
sidang Rizieq Shihab kali ini. Seharusnya majelis hakim mempertimbangkan ulang itu,” imbuhnya.
Menurut Islah, keputusan hukum perlu antisipatif memprediksi hal-hal yang tak dikehendaki.
Kondisi itu seharusnya menjadi pertimbangan majelis hakim, lantaran wibawa negara melalui hukum negaranya mestinya dapat ditegakkan.