TIKTAK.ID – Berawal dari keprihatinan terkait kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja sebagai bahan pengobatan penyakit kronis tertentu, di samping banyaknya jumlah korban yang akhirnya meninggal dunia karena takut melanjutkan pengobatan dengan ganja medis, maka Yayasan Sativa Nusantara (YSN) sebagai organisasi yang fokus pada advokasi pemanfaatan tanaman-tanaman Indonesia, termasuk ganja, melalui rilis persnya hari ini Kamis (25/3/21), mendesak DPR dan Pemerintah segera melakukan revisi UU Narkotika yang ada hari ini agar pasien-pasien yang membutuhkan ganja medis di Indonesia memiliki akses yang terjamin hukum.
Selengkapnya, berikut rilis pers dari YSN yang diterima redaksi.
RILIS PERS – Yayasan Sativa Nusantara (YSN) – Harus Berapa Banyak Lagi?
Baca juga :
Jakarta, 25 Maret 2021 – Yayasan Sativa Nusantara (YSN), sebagai organisasi yang fokus pada advokasi pemanfaatan tanaman-tanaman Indonesia -termasuk ganja, menyesalkan lambannya perubahan regulasi pemanfaatan tanaman ganja untuk kepentingan medis.
Di lain pihak, YSN mengapresiasi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mulai terbuka soal diskursus ganja medis ini, yang setidaknya dapat terlihat dari pernyataan Arsul Sani dari Komisi III pada Rapat Kerja DPR dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) minggu lalu. Di kesempatan yang sama, Petrus Golose, Kepala BNN, juga mengakui adanya perkembangan kebijakan ganja yang lebih terbuka untuk persoalan medis di negara-negara lain.
Tentunya percik ide baik ini penting kita kawal bersama karena Indonesia tentu tidak memerlukan lagi adanya proses hukum pidana untuk perawatan pasien dengan ganja medis -hal yang harus dihadapi oleh Fidelis Arie di Kabupaten Sanggau tepat 4 tahun yang lalu. Yang juga amat disesalkan dan tidak boleh kita lupakan adalah Almarhumah Ibu Yeni Riawati yang meninggal dunia karena terhentinya pengobatan meski kondisinya telah perlahan-lahan membaik dengan ganja medis.
Pasca peristiwa tersebut, hal serupa terulang lagi dengan pemidanan Reyndhart Rossy Siahaan pada tengah 2020 lalu yang menggunakan ganja untuk meredakan rasa sakit kronis yang ia derita.
Duka serupa kemudian muncul lagi dengan meninggalnya Musa Ibnu Hasan Pedersen, seorang anak dengan cerebral palsy yang situasinya juga membaik dengan ganja medis. Pengobatan Musa dihentikan ibunya, Dwi Pertiwi, karena kekhawatiran akan jerat pidana yang bisa didapatkan keluarganya di Indonesia.
Kasus-kasus ini yang kemudian juga mendorong koalisi masyarakat sipil untuk menggugat Penjelasan Pasal 6 dan Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika agar narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan medis.
Empat tahun sudah dan tidak ada perubahan berarti. Indonesia justru disuguhkan dengan pelbagai kasus baru yang menunjukan kegagalan kebijakan mengenai ganja di negara ini.
Dengan adanya perubahan penggolongan ganja di Konvensi Narkotika 1961 oleh Komisi Narkotika PBB pada akhir 2020 kemarin, sesungguhnya Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, dapat merespons perkembangan tersebut dengan juga menurunkan golongan ganja di UU Narkotika agar tanaman ganja serta zat dan produk turunannya dapat dimanfaatkan untuk medis.
YSN mendorong DPR dan Pemerintah untuk segera merevisi UU Narkotika yang ada hari ini agar pasien-pasien yang membutuhkan ganja medis di Indonesia memiliki akses yang terjamin hukum. Selain itu, dalam perubahan kebijakan mengenai ganja ke depan, DPR dan Pemerintah juga perlu untuk memikirkan pelibatan petani lokal dan mereformasi kebijakan pidana terkait narkotika termasuk ganja. Setelah Fidelis, Alm. Ibu Yeni Riawati, Alm. Musa Pedersen, Rossy dan berbagai kasus lain yang lolos dari mata media dan masyarakat, harus berapa banyak lagi?
Kontak:
Yohan Misero – Direktur Hukum dan Kebijakan YSN – 085697545166
Kawan-kawan media juga dapat mengikuti dialog kami dengan Ibu Dwi Pertiwi selaku Pemohon Utama Judicial Review UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di akun instagram https://www.instagram.com/lgn_id/ pada hari ini: Kamis, 25 Maret 2021 pukul 16.20 Waktu Indonesia Barat