TIKTAK.ID – PBB mencatat hingga Senin (15/3/21) setidaknya 138 pengunjuk rasa damai telah tewas di Myanmar sejak militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada 1 Februari.
Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric mengatakan jumlah itu termasuk 56 orang tewas selama akhir pekan kemarin. Mereka yang tewas mayoritas terjadi di daerah Hlaing Thayer di Yangon, di kota terbesar Myanmar.
“Ini termasuk 38 orang yang tewas kemarin, mayoritas di daerah Hlaing Thayer di Yangon, sementara 18 orang tewas pada Sabtu,” katanya dalam jumpa pers hariannya, seperti yang dikutip dari Anadolu Agency.
“Kami melihat akhir pekan yang penuh dengan pertumpahan darah,” tambah Dujarric.
Dujarric mengatakan bahwa Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres “mengutuk keras kekerasan yang sedang berlangsung terhadap pengunjuk rasa damai dan pelanggaran terus menerus terhadap hak asasi manusia rakyat Myanmar”.
Menurutnya, Sekretaris Jenderal juga menegaskan kembali seruannya kepada komunitas internasional untuk menunjukkan solidaritas terhadap rakyat Myanmar dan aspirasi demokrasi mereka.
Kantor Berita Reuters mengatakan respons komunitas internasional muncul setelah pasukan keamanan menembak mati 12 orang yang terlibat demonstrasi pro-demokrasi.
Sementara itu, junta militer Myanmar mencoba menutupi kabar kebrutalan mereka dengan memerintahkan untuk memblokir semua penyedia layanan telekomunikasi, memblokir semua data seluler secara nasional, tulis media Jerman, DW.
Junta militer telah memberlakukan darurat militer di beberapa bagian kota utama Yangon yang memberi kuasa para komandan junta kekuasaan luas untuk membasmi perbedaan pendapat.
Penyiar negara bagian MRTV mengatakan aturan baru berlaku untuk kota-kota seperti Yangon di Dagon Utara, Dagon Selatan, Dagon Seikkan, dan Okkalapa Utara.
Selain itu, juga dua kota lainnya, Hlaing Thar Yar dan tetangga Shwepyitha, yang diumumkan Minggu malam.
Seperti yang telah diketahui, pada 1 Februari lalu, tentara melakukan kudeta dengan merebut kekuasaan dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi.
Militer menuduh partai tersebut telah melakukan kecurangan pada pemilu 8 November, namun tuduhan itu dibantah oleh komisi pemilihan.
Junta militer berjanji akan menggelar Pemilu baru, tapi belum menetapkan tanggal yang pasti.
Militer telah memerintah Myanmar sejak kemerdekaannya dari Inggris pada 1948, juga memberikan pengaruh kuat pada Pemerintahan Suu Kyi.
Suu Kyi (75), telah ditahan sejak kudeta dan menghadapi berbagai tuduhan, termasuk mengimpor radio walkie-talkie secara ilegal dan melanggar protokol virus Corona.
Suu Kyi dijadwalkan menghadapi sidang pengadilan virtual berikutnya pada Senin depan, namun pengacaranya, Khin Maung Zaw, mengatakan sesi tersebut telah ditunda hingga 24 Maret.