TIKTAK.ID – Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan tokoh penting pemerintahan lainnya ditahan “militer”, kata seorang Juru Bicara Liga Nasional untuk Demokrasi kepada CNN, Senin (1/2/21).
“Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi dan beberapa tokoh senior lainnya ditahan di (Ibu Kota) Naypyidaw,” kata Juru Bicara, Myo Nyunt.
Dia juga mengatakan bahwa selain Suu Kyi, beberapa menteri dari Negara Bagian besar di Myanmar telah ditahan oleh militer.
“Militer tampaknya menguasai Ibu Kota, sekarang,” lanjutnya.
Tindakan itu dilakukan setelah beberapa hari ketegangan yang meningkat antara Pemerintah sipil dan kelompok militer yang kuat, setelah pemilihan umum yang oleh kubu militer dianggap curang, tulis Reuters.
Partai NLD mengklaim kemenangan setelah pemilu pada November 2020, sebagai pemungutan suara demokratis kedua di negara itu sejak berakhirnya kekuasaan militer pada 2015.
Dalam pernyataan pada 29 Januari, 16 misi internasional di Myanmar mendesak militer negara itu “untuk mematuhi norma-norma demokrasi”.
“Kami menentang segala upaya untuk mengubah hasil Pemilu atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar”, sebut pernyataan itu, yang ditandatangani oleh perwakilan dari AS, Inggris, dan Uni Eropa.
“Kami mendukung semua orang yang bekerja untuk kebebasan demokrasi yang lebih besar, perdamaian abadi, dan kemakmuran inklusif bagi rakyat Myanmar”.
Organisasi non-Pemerintah hak asasi manusia Burma Rights UK mengatakan dalam sebuah posting di Twitter mereka bahwa berita penahanan Suu Kyi “menghancurkan demokrasi”.
“Ini perlu ditanggapi dengan tanggapan internasional dengan sangat serius. Militer perlu dibuat untuk memahami bahwa mereka telah membuat kesalahan perhitungan besar dengan berpikir bahwa mereka dapat lolos dengan cara ini,” kata kelompok itu.
Suu Kyi adalah seorang pahlawan demokrasi di negara asalnya Myanmar, karena menjadi mantan tahanan politik yang menghabiskan dua dekade di bawah tahanan rumah dan putri dari ikon kemerdekaan negara tersebut yang terbunuh, Suu Kyi.
Sejak partainya menang telak pada tahun 2015, dia telah menjadi pemimpin de facto Myanmar dan memegang posisi sebagai penasihat negara -gelar yang diciptakan sebagai jalan keluar dari konstitusi yang melarangnya menjadi presiden.
Namun reputasi internasionalnya telah ternoda dalam beberapa tahun terakhir atas tuduhan genosida terhadap populasi Muslim Rohingya di Myanmar.
Myanmar membantah tuduhan tersebut dan telah lama mengklaim bahwa mereka hanya menargetkan teroris.