TIKTAK.ID – Salah satu aktivis muda pro-demokrasi Hong Kong, Nathan Law memutuskan hengkang dari kota itu setelah Beijing memberlakukan Undang-Undang Keamanan yang sangat kontroversial.
Pada Kamis kemarin, dia membuat pernyataan kepada media yang mengatakan dirinya telah meninggalkan Hong Kong. Namun, dia berjanji tetap “melanjutkan pekerjaan advokasi di tingkat internasional”.
Dia tidak mengatakan pergi ke mana dengan alasan risiko keamanan. “Berdasarkan penilaian risiko, saya tidak dapat menyampaikan terlalu banyak tentang keberadaan dan situasi pribadi saya sekarang.”
Pemuda ini sempat memimpin mahasiswa dan menjadi legislator lokal yang menghabiskan waktu di penjara setelah demonstrasi “Umbrella Protes” pada 2014.
“Saya pikir gerakan ini masih hidup,” katanya kepada BBC.
Meskipun risiko kepada pribadinya sangat tinggi, namun ia berkata, “Orang-orang Hong Kong tidak akan menyerah”.
Kedaulatan Hong Kong diserahkan kembali ke China dari Inggris pada 1997 dan hak-hak tertentu seharusnya dijamin selama setidaknya 50 tahun di bawah perjanjian “satu negara, dua sistem”.
Namun, para aktivis demokrasi mengatakan bahwa Undang-Undang baru itu, yang menargetkan pemisahan diri, subversi, dan terorisme dengan hukuman seumur hidup di penjara, secara efektif mengakhiri kebebasan berbicara. Beijing tentu menolak kritikan tersebut.
Beberapa saat setelah Undang-Undang baru itu diumumkan pada Selasa malam, Nathan menyatakan mengundurkan diri dari Partai Demosisto, yang dia dirikan bersama dengan aktivis terkenal Joshua Wong. Pada saat itu, ia mengatakan Undang-Undang ini menandai dimulainya “revolusi budaya berdarah”.
“Begitu banyak yang hilang sekarang di kota yang kucintai: kebebasan untuk mengatakan yang sebenarnya,” katanya.
Menggambarkan bagaimana Undang-Undang baru itu akan mengukuhkan kekuatan Beijing di Hongkong, dia mengatakan bahwa “kami dulu menganggap polisi rahasia sebagai sesuatu yang abstrak, sekarang ini menjadi ketakutan yang sangat nyata”.
Undang-Undang Keamanan baru yang diterapkan Beijing di Hong Kong itu menurut Pemerintah China daratan diperlukan untuk menghentikan kebencian terhadap Pemerintah Pusat China dan pelanggaran Pemerintah Daerah Hong Kong, seperti yang terjadi pada protes pro-demokrasi selama 2019.
Aturan itu juga memungkinkan untuk melakukan persidangan tertutup, penyadapan kepada tersangka dan kemungkinan tersangka akan diadili di daratan Tiongkok.
Tindakan seperti merusak fasilitas transportasi umum -yang sering terjadi selama protes 2019- dapat dianggap sebagai tindakan terorisme.
Ada juga kekhawatiran tentang kebebasan di dunia online, sebab penyedia internet mungkin harus menyerahkan data pengguna jika polisi meminta.
Undang-Undang Keamanan baru yang diterapkan di Hong Kong itu juga mendapat banyak kecaman dari banyak negara, terutama Amerika Serikat. Namun, Beijing menanggapi enteng semua itu dengan mengatakan “masalah Hong Kong bukan urusan kalian”.